Kamis, 28 Januari 2010

Ikebana



Ikébana (生花 ?) adalah seni merangkai bunga yang memanfaatkan berbagai jenis bunga, rumput-rumputan dan tanaman dengan tujuan untuk dinikmati keindahannya. Ikebana berasal dari Jepang tapi telah meluas ke seluruh dunia. Dalam bahasa Jepang, Ikebana juga dikenal dengan istilah kadō (華道 ?, ka, bunga; do, jalan kehidupan) yang lebih menekankan pada aspek seni untuk mencapai kesempurnaan dalam merangkai bunga.

Di dalam Ikebana terdapat berbagai macam aliran yang masing-masing mempunyai cara tersendiri dalam merangkai berbagai jenis bunga. Aliran tertentu mengharuskan orang melihat rangkaian bunga tepat dari bagian depan, sedangkan aliran lain mengharuskan orang melihat rangkaian bunga yang berbentuk tiga dimensi sebagai benda dua dimensi saja.

Pada umumnya, bunga yang dirangkai dengan teknik merangkai dari Barat (flower arrangement) terlihat sama indahnya dari berbagai sudut pandang secara tiga dimensi dan tidak perlu harus dilihat dari bagian depan.

Berbeda dengan seni merangkai bunga dari Barat yang bersifat dekoratif, Ikebana berusaha menciptakan harmoni dalam bentuk linier, ritme dan warna. Ikebana tidak mementingkan keindahan bunga tapi pada aspek pengaturannya menurut garis linier. Bentuk-bentuk dalam Ikebana didasarkan tiga titik yang mewakili langit, bumi, dan manusia.

Asal-usul

Asal-usul Ikebana adalah tradisi mempersembahkan bunga di kuil Buddha di Jepang. Ikebana berkembang bersamaan dengan perkembangan agama Buddha di Jepang di abad ke-6.

Ada penelitian yang mengatakan Ikebana berasal dari tradisi animisme orang zaman kuno yang menyusun kembali tanaman yang sudah dipetik dari alam sesuai dengan keinginannya. Di zaman kuno, manusia merasakan keanehan yang terdapat pada tanaman dan mengganggapnya sebagai suatu misteri. Berbeda dengan binatang yang langsung mati setelah diburu, bunga atau bagian tanaman yang sudah dipetik dari alam bila diperlakukan dengan benar tetap mempertahankan kesegaran sama seperti sewaktu masih berada di alam. Manusia yang senang melihat "keanehan" yang terjadi kemudian memasukkan bunga atau bagian tanaman yang sudah dipotong ke dalam vas bunga. Manusia zaman kuno lalu merasa puas karena menganggap dirinya sudah berhasil mengendalikan peristiwa alam yang sebelumnya tidak bisa dikendalikan oleh manusia.

Ketakjuban manusia terhadap tumbuhan yang dianggap mempunyai kekuatan aneh juga berkaitan dengan pemujaan tanaman yang selalu berdaun hijau sepanjang tahun (evergreen). Manusia zaman dulu yang tinggal di negeri empat musim percaya bahwa kekuatan misterius para dewa menyebabkan tanaman selalu berdaun hijau sepanjang tahun dan tidak merontokkan daunnya di musim dingin.

Sejarah seni merangkai bunga

Menurut literatur klasik seperti Makura no sōshi yang bercerita tentang adat istiadat Jepang, tradisi mengagumi bunga dengan cara memotong tangkai dari sekuntum bunga sudah dimulai sejak zaman Heian. Pada mulanya, bunga diletakkan di dalam wadah yang sudah ada sebelumnya dan kemudian baru dibuatkan wadah khusus untuk vas bunga.

Ikebana dalam bentuk seperti sekarang ini baru dimulai para biksu di kuil Chōhōji Kyoto pada pertengahan zaman Muromachi. Para biksu kuil Chōhōji secara turun temurun tinggal di kamar (bō) di pinggir kolam (ike), sehingga aliran baru Ikebana yang dimulainya disebut aliran Ikenobō.

Di pertengahan zaman Edo, berbagai kepala aliran (Iemoto) dan guru besar kepala (Sōke) menciptakan seni merangkai bunga gaya Tachibana atau Rikka yang menjadi mapan pada masa itu.

Di pertengahan zaman Edo hingga akhir zaman Edo, Ikebana yang dulunya hanya bisa dinikmati kalangan bangsawan atau kaum samurai secara berangsur-angsur mulai disenangi rakyat kecil. Pada zaman itu, Ikebana gaya Shōka (seika) menjadi populer di kalangan rakyat.

Aliran Mishōryū, aliran Koryū, aliran Enshūryū dan aliran Senkeiryū melahirkan banyak guru besar dan ahli Ikebana yang memiliki teknik tingkat tinggi yang kemudian memisahkan diri membentuk banyak aliran yang lain.

Ikebana mulai diperkenalkan ke Eropa pada akhir zaman Edo hingga masa awal era Meiji ketika minat orang Eropa terhadap kebudayaan Jepang sedang mencapai puncaknya. Ikebana dianggap mempengaruhi seni merangkai bunga Eropa yang mencontoh Ikebana dalam line arrangement.

Sejak zaman Edo lahir banyak sekali aliran yang merupakan pecahan dari aliran Ikenobō. Pada bulan Maret 2005 tercatat 392 aliran Ikebana yang masuk ke dalam daftar Asosiasi Seni Ikebana Jepang.

Gaya Rangkaian dalam Ikebana

Ada 3 gaya dalam Ikebana, yaitu : rikka, shoka dan jiyuka.

Rikka (Standing Flower)adalah ikebana gaya tradisional yang banyak dipergunakan untuk perayaan keagamaan. Gaya ini menampilkan keindahan landscape tanaman.

Gaya ini berkembang sekitar awal abad 16. Ada 7 keutamaan dalam rangkaian gaya Rikka, yaitu : shin, shin-kakushi, soe, soe-uke, mikoshi, nagashi dan maeoki

Shoka adalah rangkaian ikebana yang tidak terlalu formal tapi masih tradisional. Gaya ini difokuskan pada bentuk asli tumbuhan. Ada 3 unsur utama dalam gaya Shoka yaitu : shin, soe, dan tai. Sesuai dengan perkembangan zaman, sesudah Restorasi Meiji 1868, gaya ini lebih berkembang karena adanya pengaruh Eropa Nageire arti bebasnya “dimasukan” (rangkaian dengan vas tinggi dengan rangkaian hampir bebas)dan Moribana. rangkaian menggunakan wadah rendah dan mulut lebar). Lalu pada tahun 1977 lahir gaya baru yaitu Shoka Shimputai, yang lebih modern, terdiri dari 2 unsur utama yaitu shu dan yo, dan unsur pelengkapnya, ashirai.

Jiyuka adalah rangkaian Ikebana bersifat bebas dimana rangkaiannya berdasarkan kreativitas serta imaginasi. Gaya ini berkembang setelah perang dunia ke-2. Dalam rangkaian ini kita dapat mempergunakan kawat,logam dan batu secara menonjol.

Perlengkapan

Hampir sama dengan peralatan merangkai bunga gaya eropa, dalam Ikebana kita memerlukan kawat dari berbagai ukuran (ketebalan kawat), gunting (gunting khusus ikebana), Floral tape (warna hijau dan coklat),selotip. Juga tang bunga (utk mematahkan), kenzan yaitu alas berduri tajam tempat mencucukan bunga, juga semacam pipet besar untuk mengambil air yang lama di vas ketika kita hendak mengganti airnya, batu-batuan kecil juga bisa dipergunakan bila kita mempergunakan vas/wadah/suiban tinggi.

Aliran yang terkemuka

• Ikenobō
• Senkeiryū
• Sōgetsu
• Ohararyū
• Ryūseiha
• Mishōryū
• Mishōryū Sasaoka
• Saga Goryū
• Yamamura Goryū
• Yōshin Goryū
• Kadōenshū
• Nihonkoryū

Origami


Origami adalah sebuah seni lipat yang berasal dari Jepang. Bahan yang digunakan adalah kertas atau kain yang biasanya berbentuk persegi. Sebuah hasil origami merupakan suatu hasil kerja tangan yang sangat teliti dan halus pada pandangan.

Origami merupakan satu kesenian melipat kertas yang dipercayai bermula sejak kertas diperkenalkan pada abad pertama di zaman Tiongkok kuno pada tahun 105 Masehi oleh Ts'ai Lun.

Pembuatan kertas dari potongan kecil tumbuhan dan kain berkualitas rendah meningkatkan produksi kertas. Contoh-contoh awal origami yang berasal dari Tiongkok adalah tongkang (jung) dan kotak.

Pada abad ke-6, cara pembuatan kertas kemudian dibawa ke Spanyol oleh orang-orang Arab. Pada tahun 610 di masa pemerintahan kaisar wanita Suiko (zaman Asuka), seorang biksu Buddha bernama Donchō (Dokyo) yang berasal dari Goguryeo (semenanjung Korea) datang ke Jepang memperkenalkan cara pembuatan kertas dan tinta.

Origami pun menjadi populer di kalangan orang Jepang sampai sekarang terutama dengan kertas lokal Jepang yang disebut Washi.

Rabu, 27 Januari 2010

Upacara Minum Teh


Upacara minum teh (茶道 sadō, chadō?, jalan teh) adalah ritual tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk tamu. Pada zaman dulu disebut chatō (茶の湯 ?) atau cha no yu. Upacara minum teh yang diadakan di luar ruangan disebut nodate.

Teh disiapkan secara khusus oleh orang yang mendalami seni upacara minum teh dan dinikmati sekelompok tamu di ruangan khusus untuk minum teh yang disebut chashitsu. Tuan rumah juga bertanggung jawab dalam mempersiapkan situasi yang menyenangkan untuk tamu seperti memilih lukisan dinding (kakejiku), bunga (chabana), dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim dan status tamu yang diundang.

Teh bukan cuma dituang dengan air panas dan diminum, tapi sebagai seni dalam arti luas. Upacara minum teh mencerminkan kepribadian dan pengetahuan tuan rumah yang mencakup antara lain tujuan hidup, cara berpikir, agama, apresiasi peralatan upacara minum teh dan cara meletakkan benda seni di dalam ruangan upacara minum teh (chashitsu) dan berbagai pengetahuan seni secara umum yang bergantung pada aliran upacara minum teh yang dianut.

Seni upacara minum teh memerlukan pendalaman selama bertahun-tahun dengan penyempurnaan yang berlangsung seumur hidup. Tamu yang diundang secara formal untuk upacara minum teh juga harus mempelajari tata krama, kebiasaan, basa-basi, etiket meminum teh dan menikmati makanan kecil yang dihidangkan.

Pada umumnya, upacara minum teh menggunakan teh bubuk matcha yang dibuat dari teh hijau yang digiling halus. Upacara minum teh menggunakan matcha disebut matchadō, sedangkan bila menggunakan teh hijau jenis sencha disebut senchadō.

Dalam percakapan sehari-hari di Jepang, upacara minum teh cukup disebut sebagai ocha (teh). Istilah ocha no keiko bisa berarti belajar mempraktekkan tata krama penyajian teh atau belajar etiket sebagai tamu dalam upacara minum teh.

Sejarah

Lu Yu (Riku U) adalah seorang ahli teh dari dinasti Tang di Tiongkok yang menulis buku berjudul Ch'a Ching (茶经) atau Chakyō (bahasa Inggris: Classic of Tea). Buku ini merupakan ensiklopedia mengenai sejarah teh, cara menanam teh, sejarah minum teh, dan cara membuat dan menikmati teh.

Produksi teh dan tradisi minum teh dimulai sejak zaman Heian setelah teh dibawa masuk ke Jepang oleh duta kaisar yang dikirim ke dinasti Tang. Literatur klasik Nihon Kōki menulis tentang Kaisar Saga yang sangat terkesan dengan teh yang disuguhkan pendeta bernama Eichu sewaktu mengunjungi Provinsi Ōmi di tahun 815. Catatan dalam Nihon Kōki merupakan sejarah tertulis pertama tentang tradisi minum teh di Jepang.

Pada masa itu, teh juga masih berupa teh hasil fermentasi setengah matang mirip Teh Oolong yang dikenal sekarang ini. Teh dibuat dengan cara merebus teh di dalam air panas dan hanya dinikmati di beberapa kuil agama Buddha. Teh belum dinikmati di kalangan terbatas sehingga kebiasaan minum teh tidak sempat menjadi populer.

Di zaman Kamakura, pendeta Eisai dan Dogen menyebarkan ajaran Zen di Jepang sambil memperkenalkan matcha yang dibawanya dari Tiongkok sebagai obat. Teh dan ajaran Zen menjadi populer sebagai unsur utama dalam penerangan spiritual. Penanaman teh lalu mulai dilakukan di mana-mana sejalan dengan makin meluasnya kebiasaan minum teh.

Permainan tebak-tebakan daerah tempat asal air yang diminum berkembang di zaman Muromachi. Permainan tebak-tebakan air minum disebut Tōsui dan menjadi populer sebagai judi yang disebut Tōcha. Pada Tōcha, permainan berkembang menjadi tebak-tebakan nama merek teh yang yang diminum.

Pada masa itu, perangkat minum teh dari dinasti Tang dinilai dengan harga tinggi. Kolektor perlu mengeluarkan banyak uang untuk bisa mengumpulkan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh menjadi populer di kalangan daimyo yang mengadakan upacara minum teh secara mewah menggunakan perangkat minum teh dari Tiongkok. Acara minum teh seperti ini dikenal sebagai Karamono suki dan ditentang oleh nenek moyang ahli minum teh Jepang yang bernama Murata Jukō. Menurut Jukō, minuman keras dan perjudian harus dilarang dari acara minum teh. Acara minum teh juga harus merupakan sarana pertukaran pengalaman spiritual antara pihak tuan rumah dan pihak yang dijamu. Acara minum teh yang diperkenalkan Jukō merupakan asal-usul upacara minum teh aliran Wabicha.

Wabicha dikembangkan oleh seorang pedagang sukses dari kota Sakai bernama Takeno Shōō dan disempurnakan oleh murid (deshi) yang bernama Sen no Rikyū di zaman Azuchi Momoyama. Wabicha ala Rikyū menjadi populer di kalangan samurai dan melahirkan murid-murid terkenal seperti Gamō Ujisato, Hosokawa Tadaoki, Makimura Hyōbu, Seta Kamon, Furuta Shigeteru, Shigeyama Kenmotsu, Takayama Ukon, Rikyū Shichitetsu. Selain itu, dari aliran Wabicha berkembang menjadi aliran-aliran baru yang dipimpin oleh daimyo yang piawai dalam upacara minum teh seperti Kobori Masakazu, Katagiri Sekijū dan Oda Uraku. Sampai saat ini masih ada sebutan Bukesadō untuk upacara minum teh gaya kalangan samurai dan Daimyōcha untuk upacara minum teh gaya daimyō.

Sampai di awal zaman Edo, ahli upacara minum teh sebagian besar terdiri dari kalangan terbatas seperti daimyo dan pedagang yang sangat kaya. Memasuki pertengahan zaman Edo, penduduk kota yang sudah sukses secara ekonomi dan membentuk kalangan menengah atas secara beramai-ramai menjadi peminat upacara minum teh.

Kalangan penduduk kota yang berminat mempelajari upacara minum teh disambut dengan tangan terbuka oleh aliran Sansenke (tiga aliran Senke: Omotesenke, Urasenke dan Mushanokōjisenke) dan pecahan aliran Senke.

Kepopuleran upacara minum teh menyebabkan jumlah murid menjadi semakin banyak sehingga perlu diatur dengan suatu sistem. Iemoto seido adalah peraturan yang lahir dari kebutuhan mengatur hirarki antara guru dan murid dalam seni tradisional Jepang.
Joshinsai (guru generasi ke-7 aliran Omotesenke) dan Yūgensai (guru generasi ke-8 aliran Urasenke) dan murid senior Joshinsai yang bernama Kawakami Fuhaku (Edosenke generasi pertama) kemudian memperkenalkan metode baru belajar upacara minum teh yang disebut Shichijishiki. Upacara minum teh dapat dipelajari oleh banyak murid secara bersama-sama dengan metode Shichijishiki.

Berbagai aliran upacara minum teh berusaha menarik minat semua orang untuk belajar upacara minum teh, sehingga upacara minum teh makin populer di seluruh Jepang. Upacara minum teh yang semakin populer di kalangan rakyat juga berdampak buruk terhadap upacara minum teh yang mulai dilakukan tidak secara serius seperti sedang bermain-main.

Sebagian guru upacara minum teh berusaha mencegah kemunduran dalam upacara minum teh dengan menekankan pentingnya nilai spiritual dalam upacara minum teh. Pada waktu itu, kuil Daitokuji yang merupakan kuil sekte Rinzai berperan penting dalam memperkenalkan nilai spiritual upacara minum teh sekaligus melahirkan prinsip Wakeiseijaku yang berasal dari upacara minum teh aliran Rikyū.

Di akhir Keshogunan Tokugawa, Ii Naosuke menyempurnakan prinsip Ichigo ichie (satu kehidupan satu kesempatan). Pada masa ini, upacara minum teh yang sekarang dikenal sebagai sadō berhasil disempurnakan dengan penambahan prosedur sistematis yang riil seperti otemae (teknik persiapan, penyeduhan, penyajian teh) dan masing-masing aliran menetapkan gaya serta dasar filosofi yang bersifat abstrak.

Memasuki akhir zaman Edo, upacara minum teh yang menggunakan matcha yang disempurnakan kalangan samurai menjadi tidak populer di kalangan masyarakat karena tata krama yang kaku. Masyarakat umumnya menginginkan upacara minum teh yang bisa dinikmati dengan lebih santai. Pada waktu itu, orang mulai menaruh perhatian pada teh sencha yang biasa dinikmati sehari-hari. Upacara minum teh yang menggunakan sencha juga mulai diinginkan orang banyak. Berdasarkan permintaan orang banyak, pendeta Baisaō yang dikenal juga sebagai Kō Yūgai menciptakan aliran upacara minum teh dengan sencha (Senchadō) yang menjadi mapan dan populer di kalangan sastrawan.

Pemerintah feodal yang ada di seluruh Jepang merupakan pengayom berbagai aliran upacara minum teh, sehingga kesulitan keuangan melanda berbagai aliran upacara minum teh setelah pemerintah feodal dibubarkan di awal era Meiji. Hilangnya bantuan finansial dari pemerintah feodal akhirnya digantikan oleh pengusaha sukses seperti Masuda Takashi lalu bertindak sebagai pengayom berbagai aliran upacara minum teh.

Di tahun 1906, pelukis terkenal bernama Okakura Tenshin menerbitkan buku berjudul The Book of Tea di Amerika Serikat. Memasuki awal abad ke-20, istilah sadō atau chadō mulai banyak digunakan bersama-sama dengan istilah cha no yu atau Chanoyu.

Aliran upacara minum teh

• Sansenke - Aliran yang dimulai oleh Sen no Shōan yang merupakan anak yang dibawa oleh istri muda Sen no Rikyū dan diteruskan oleh garis keturunan keluarganya hingga sekarang. Sansenke merupakan garis keturunan terpisah dari keluarga Sakaisenke. Aliran Sansenke terdiri dari:

o Omotesenke (nama chashitsu: Fushin-an)
o Urasenke (nama chashitsu: Konnichi-an)
o Mushanokōjisenke (nama chashitsu: Kankyū-an)

• Sōtanryū - Aliran yang dilahirkan Sensōtan (anak Sen no Shōan) dan murid-muridnya. Selain aliran Sansenke, aliran Matsuoryū, aliran Yōkenryū, aliran Sōhenryū, aliran Fusairyū dan aliran Hisadaryū juga masih merupakan garis keturunan Sotanshitennō.

• Sakaisenke - Keluarga utama Senke. Sen no Dōan (putra sah Sen no rikyū) merupakan penerus keluarga Senke, tapi garis keturunannya terputus.

• Anraku Anryū
• Ueda Sōkoryū (pendiri: Ueda Shigeyasu
• Urakuryū (pendiri: Oda Uraku)
• Edo Senkeryū
• Enshūryū (pendiri: Kobori Masakazu)
• Oriberyū
• Sakairyū
• Sekishūryū (pendiri: Katagiri Sekishū)
• Sekishūryū Ikeiha
• Sekishūryū Ōguchiha
• Sekishūryū Shimizuha
• Sekishūryū Nomuraha
• Sōhenryū
• Sōwaryū (pendiri: Kanamori Shigechika)
• Dainippon Sadōgakkai
• Chinshinryū
• Nararyū
• Nambōryū
• Hayamiryū
• Fusairyū
• Higokoryū - Aliran berkembang di wilayah han Kumamoto dan terdiri dari:

o Furuichiryū
o Koboriryū
o Kayanoryū

• Hisadaryū
• Fujibayashiryū
• Fuhakuryū (pendiri: Kawakami Fuhaku)
• Fumairyū
• Hosokawasansairyū (pendiri: Hosokawa Tadaoki)
• Horinouchiryū
• Matsuoryū
• Mitaniryū
• Miyabiryū
• Yabunouchiryū
• Rikyūryū
• Kogetsuenshūryū

Matsuri



Chichibuyo Matsuri

Kemeriahan pasar kaget (Hana Matsuri-Ayu Matsuri)

Kios-kios yang berjualan mainanmakanan sering ditemukan di festival-festival di Jepang


Matsuri (祭) adalah istilah agama Shinto yang berarti persembahan ritual untuk Kami. Dalam pengertian sekuler, matsuri berarti festival atau perayaan di Jepang. Di daerah Kyushu, matsuri yang dilangsungkan pada musim gugur disebut kunchi.
Berbagai matsuri diselenggarakan sepanjang tahun di berbagai tempat di Jepang. Sebagian besar penyelenggara matsuri adalah kuil Shinto atau kuil Buddha. Walaupun demikian, ada pula berbagai "matsuri" (festival) yang bersifat sekuler dan tidak berkaitan dengan institusi keagamaan.

Garis besar

Sebagian besar matsuri diselenggarakan dengan maksud untuk mendoakan keberhasilan tangkapan ikan dan keberhasilan panen (beras, gandum, kacang, jawawut, jagung), kesuksesan dalam bisnis, kesembuhan dan kekebalan terhadap penyakit, keselamatan dari bencana, dan sebagai ucapan terima kasih setelah berhasil dalam menyelesaikan suatu tugas berat. Matsuri juga diadakan untuk merayakan tradisi yang berkaitan dengan pergantian musim atau mendoakan arwah tokoh terkenal. Makna upacara yang dilakukan dan waktu pelaksanaan matsuri beraneka ragam seusai dengan tujuan penyelenggaraan matsuri. Matsuri yang mempunyai tujuan dan maksud yang sama dapat mempunyai makna ritual yang berbeda tergantung pada daerahnya.

Pada penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa ditemui prosesi atau arak-arakan mikoshi, dashi (danjiri) dan yatai yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan berisi Kami atau objek pemujaan. Pada matsuri juga bisa dijumpai chigo (anak kecil dalam prosesi), miko (gadis pelaksana ritual), tekomai (laki-laki berpakaian wanita), hayashi (musik khas matsuri), penari, peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus, dan pasar malam beraneka makanan dan permainan.

Sejarah

Matsuri berasal dari kata matsuru (祀る ?, menyembah, memuja) yang berarti pemujaan terhadap Kami atau ritual yang terkait. Dalam teologi agama Shinto dikenal empat unsur dalam matsuri: penyucian (harai), persembahan, pembacaan doa (norito), dan pesta makan. Matsuri yang paling tua yang dikenal dalam mitologi Jepang adalah ritual yang dilakukan di depan Amano Iwato.

Matsuri dalam bentuk pembacaan doa masih tersisa seperti dalam bentuk kigansai (permohonan secara individu kepada jinja atau kuil untuk didoakan dan jichinsai (upacara sebelum pendirian bangunan atau konstruksi). Pembacaan doa yang dilakukan pendeta Shinto untuk individu atau kelompok orang di tempat yang tidak terlihat orang lain merupakan bentuk awal dari matsuri. Pada saat ini, Ise Jingū merupakan salah satu contoh kuil agama Shinto yang masih menyelenggarakan matsuri dalam bentuk pembacaan doa yang eksklusif bagi kalangan terbatas dan peserta umum tidak dibolehkan ikut serta.

Sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan penyelenggaraan matsuri sering melenceng jauh dari maksud matsuri yang sebenarnya. Penyelenggaraan matsuri sering menjadi satu-satunya tujuan dilangsungkannya matsuri, sedangkan matsuri hanya tinggal sebagai wacana dan tanpa makna religius.

Tiga matsuri terbesar

• Gion Matsuri (Yasaka-jinja, Kyoto, Juli)
• Tenjinmatsuri (Osaka Temmangu, Osaka, 24-25 Juli)
• Kanda Matsuri (Kanda Myōjin, Tokyo, Mei)

Daftar matsuri sejak zaman dulu

Daerah Tohoku

• Nebuta Matsuri (Aomori, Agustus) dan Neputa Matsuri (kota Hirosaki, Agustus)
• Kantō Matsuri (Akita, Agustus)
• Sendai Tanabata Matsuri (Sendai, Agustus)

Daerah Kanto

• Chichibuyo Matsuri (Chichibushi, Prefektur Saitama, 2-3 Desember)
• Sanja Matsuri (Kuil Asakusa, Tokyo, Mei)
• Sannō Matsuri (Kuil Hie, Tokyo, Juni)

Daerah Chubu

• Owarafū no bon (Toyama, Prefektur Toyama, September)
• Shikinenzōei Onbashira Daisai (kota Suwa, Prefektur Nagano, diadakan setiap 6 tahun sekali, terakhir diadakan pada April-Mei, 2004).
• Takayama Matsuri (Takayama, Prefektur Gifu, April dan Oktober)
• Furukawa Matsuri (Hida, Prefektur Gifu, April)

Daerah Kinki

• Aoi Matsuri (Kyoto, Mei)
• Jidai Matsuri (Heian-jingu, Kyoto, Oktober)
• Tōdaiji Nigatsudō Shuni-e atau dikenal sebagai Omizutori (Nigetsu-dō, kuil Tōdai-ji, Nara, 12 Maret)
• Kishiwada Danjiri Matsuri (Kishiwada, Prefektur Osaka, 14-15 September)
• Nada no Kenka Matsuri dan Banshū no Aki Matsuri (Prefektur Hyogo, diselenggarakan lebih dari seratus jinja di daerah Banshū dengan pusat keramaian di kota Himeji, Oktober)
• Nachi no Hi Matsuri (Nachi Katsuura, Prefektur Wakayama, Juli)
• Aizen Matsuri, Tenjinmatsuri dan Sumiyoshi Matsuri yang dikenal sebagai "Tiga Festival Musim Panas Terbesar di Osaka" (Prefektur Osaka, Juni-Juli)

Daerah Chugoku dan Shikoku

• Saidaiji Eyō (Okayama, Prefektur Okayama, Februari)
• Awa Odori (Tokushima, Prefektur Tokushima, 12-15 Agustus)

Daerah Kyushu

• Hakata Gion Yamakasa (Fukuoka, Prefektur Fukuoka, Juli)
• Nagasaki Kunchi (Nagasaki, Prefektur Nagasaki, 7-9 Oktober)
• Karatsu Kunchi (Karatsu, Prefektur Saga, November)

Pengertian lain

Dalam bahasa Jepang, kata matsuri juga berarti festival dan aksara kanji untuk matsuri (祭 ?) dapat dibaca sebagai sai, sehingga dikenal istilah seperti eiga-sai (festival film), sangyō-sai (festival hasil panen), ongaku-sai (festival musik) dan daigaku-sai (festival di universitas), dan festival-festival lain yang bersifat sekuler.
Pemerintah daerah atau kelompok warga kota juga menyelenggarakan festival yang disebut shimin matsuri (festival rakyat). Festival ini diadakan untuk menghidupkan perekonomian daerah dan tidak berhubungan dengan institusi keagamaan.

Daftar festival di Jepang

• Festival Salju Sapporo (Sapporo, Prefektur Hokkaido, Februari)
• Festival Salju Iwate (Koiwai Farm, Shizukuishi, Prefektur Iwate, Februari)
• Yosakoi Sōran Matsuri (Sapporo, Hokkaido, Juni)
• Niigata Odori Matsuri (Niigata, Prefektur Niigata, pertengahan September)
• Odawara Hōjō Godai Matsuri (Odawara, Prefektur Kanagawa)
• Yosakoi Matsuri (Kochi, Prefektur Kochi, 9-12 Agustus)
• Hakata Dontaku (Fukuoka, 3-4 April)
• Hamamatsu Matsuri (Hamamatsu, Prefektur Shizuoka, 3-5 Mei)
• Wasshoi Hyakuman Natsu Matsuri (Kitakyūshū, Prefektur Fukuoka, Sabtu minggu pertama bulan Agustus)


Festival Nebuta Aomori

Festival Nebuta Aomori (青森ねぶた祭り Aomori Nebuta Matsuri?) atau Aomori Nebuta (青森ねぶた ?) adalah festival musim panas dari 2 Agustus hingga 7 Agustus di kota Aomori, Prefektur Aomori. Festival ini termasuk salah satu acara menyambut Tanabata yang dilakukan di wilayah Tohoku. Nebuta adalah lentera ukuran raksasa yang dibuat dari kerangka kayu berlapis washi yang umumnya berbentuk boneka pemeran kabuki atau hewan. Nebuta diusung dengan kendaraan hias untuk berpawai di jalan-jalan.

Festival ini setiap tahunnya diikuti lebih dari 3 juta peserta dan wisatawan. Bersama-sama dengan Tanabata di Sendai, dan Kantō di Akita, Aomori Nebuta adalah salah satu dari tiga festival terbesar di wilayah Tohoku. Dua festival nebuta terbesar di Prefektur Aomori adalah Aomori Nebuta dan Hirosaki Neputa.

Penari dan kostum

Ciri khas festival ini adalah orang yang menari beramai-ramai sewaktu berpawai bersama nebuta. Tari khas Festival Nebuta disebut haneto dengan gerakan kaki seperti melonjak-lonjak atau berjingkrak (跳ねる haneru?). Tidak diketahui secara pasti asal mula istilah haneto dipakai untuk menyebut cara menari festival nebuta, namun istilah ini sudah dipakai dalam naskah asal tahun 1772-1781.

Penari juga disebut haneto (跳人 ?) dan mengenakan kostum yang juga disebut haneto (ハネト ?). Kostum penari berupa yukata dari kain katun, dilengkapi tutup kepala (hanagasa) berhias bunga-bunga, kain pundak (tasuki) berwarna cerah (merah, merah jambu) pengikat lengan yukata, dan ikat pinggang kain (shigoki) untuk menggantungkan mangkuk minum (gagashiko) dari kaleng. Di bawah yukata dikenakan kain pinggang (okoshi) berwarna merah jambu untuk wanita (biru untuk pria) yang menutup pinggang hingga lutut. Alas kaki adalah tabi berwarna putih dan zōri. Penonton diharapkan untuk ikut menari. Kostum haneto dapat dibeli di toko serba ada atau dipinjam di toko peminjaman kostum.

Sejarah

Aomori Nebuta berawal dari tradisi menghanyutkan lentera kertas pada malam Tanabata. Boneka Nebuta yang dihanyutkan di sungai atau laut termasuk tradisi menghalau nasib buruk pada malam Tanabata. Sekitar 270-290 tahun yang lalu (era Kyōhō 1716-1735) di dekat kota Aburagawa dilangsungkan festival lentera yang mirip dengan Hirosaki Neputa. Peserta waktu itu mengusung lentera sambil menari di jalan-jalan. Pemandangan festival lentera waktu itu mungkin mirip dengan Gion Matsuri di Kyoto.

Nebuta berbentuk lentera raksasa yang menggambarkan tokoh-tokoh dalam kabuki muncul sekitar puncak keemasan seni rakyat biasa pada era Bunka (1804-1817). Sejarawan daerah Takeo Matsuno menulis tentang festival nebuta di surat kabar To-o Nippo edisi Agustus 1966.
Dalam tulisan tersebut dikisahkan tentang pengamat budaya zaman Edo bernama Gobutsu Kokkeisha menulis tentang pemandangan festival Tanabata di kota Noshiro, Prefektur Akita pada tahun 1843. Dalam buku Oku no Shiori, dikisahkannya tentang boneka-boneka kertas yang yang antara lain menggambarkan Kaisar Jingū dan Kato Kiyomasa dalam ekspedisi penaklukan Korea. Boneka-boneka kertas tersebut tingginya sekitar 10 m dan lebar 6 m, dan diarak di atas kendaraan beroda.

Di dalam boneka-boneka kertas dipasang lilin. Nebuta diarak-arak oleh orang yang menari-nari dengan iringan genta, taiko, dan terompet kulit kerang. Pemandangan aneh tersebut dikatakannya juga ada di Hirosaki dan Kuroishi.

Kelompok pengacau

Sejak beberapa puluh tahun lampau, acara ini sering diganggu kelompok anak muda yang disebut karasuzoku (カラス族 gerombolan gagak?). Mereka datang tidak mengenakan kostum haneto, melainkan baju serba hitam sehingga disebut gerombolan gagak. Karasuzoku mengacau dengan cara mengajak berkelahi, bermabuk-mabukan, dan bermain petasan. Pada tahun 1996 terjadi bentrokan antara karasuzoku dan penonton hingga menyebabkan penonton luka berat.

Referensi

1. ^ a b 防げるか若者の「暴走」姫路、青森で罰則条例. The Kobe Shimbun. Diakses pada 20 Agustus 2009
2. ^ a b c ねぶたの由来. Situs resmi Aomori Nebuta. Diakses pada 20 Agustus 2009
3. ^ ハネトの参加方法. Situs resmi Aomori Nebuta. Diakses pada 20 Agustus 2009

Aneka Ragam Budaya Jepang

Negara Jepang kaya dengan berbagai kebudayaan leluhurnya yang beraneka ragam. Walaupun saat ini perkembangan teknologi di Jepang terus up date dalam hitungan perdetik , namun sisi tradisional masuh terus dilestarikan hingga sekarang ini. Berikut ini adalah salah satu dari berbagai macam kebudayaan Jepang yang masih terus berlangsung hingga saat ini :

Matsuri (祭, Matsuri) adalah kata dalam bahasa Jepang yang menurut pengertian agama Shinto berarti ritual yang dipersembahkan untuk Kami, sedangkan menurut pengertian sekularisme berarti festival, perayaan atau hari libur perayaan.

Matsuri diadakan di banyak tempat di Jepang dan pada umumnya diselenggarakan jinja atau kuil, walaupun ada juga matsuri yang diselenggarakan gereja dan matsuri yang tidak berkaitan dengan institusi keagamaan. Di daerah Kyushu, matsuri yang dilangsungkan pada musim gugur disebut Kunchi.

Sebagian besar matsuri diselenggarakan dengan maksud untuk mendoakan keberhasilan tangkapan ikan dan keberhasilan panen (beras, gandum, kacang, jawawut, jagung), kesuksesan dalam bisnis, kesembuhan dan kekebalan terhadap penyakit, keselamatan dari bencana, dan sebagai ucapan terima kasih setelah berhasil dalam menyelesaikan suatu tugas berat. Matsuri juga diadakan untuk merayakan tradisi yang berkaitan dengan pergantian musim atau mendoakan arwah tokoh terkenal. Makna upacara yang dilakukan dan waktu pelaksanaan matsuri beraneka ragam seusai dengan tujuan penyelenggaraan matsuri. Matsuri yang mempunyai tujuan dan maksud yang sama dapat mempunyai makna ritual yang berbeda tergantung pada daerahnya.

Pada penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa ditemui prosesi atau arak-arakan Mikoshi, Dashi (Danjiri) dan Yatai yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan berisi Kami atau objek pemujaan. Pada matsuri juga bisa dijumpai Chigo (anak kecil dalam prosesi), Miko (anak gadis pelaksana ritual), Tekomai (laki-laki berpakaian wanita), Hayashi (musik khas matsuri), penari, peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus, dan pasar kaget beraneka macam makanan dan permainan.

Sejarah

Matsuri berasal dari kata matsuru (祀る, matsuru? menyembah, memuja) yang berarti pemujaan terhadap Kami atau ritual yang terkait. Dalam teologi agama Shinto dikenal empat unsur dalam matsuri: penyucian (harai), persembahan, pembacaan doa (norito), dan pesta makan. Matsuri yang paling tua yang dikenal dalam mitologi Jepang adalah ritual yang dilakukan di depan Amano Iwato.

Matsuri dalam bentuk pembacaan doa masih tersisa seperti dalam bentuk Kigansai (permohonan secara individu kepada jinja atau kuil untuk didoakan dan Jichinsai (upacara sebelum pendirian bangunan atau konstruksi). Pembacaan doa yang dilakukan pendeta Shinto untuk individu atau kelompok orang di tempat yang tidak terlihat orang lain merupakan bentuk awal dari matsuri. Pada saat ini, Ise Jingū merupakan salah satu contoh kuil agama Shinto yang masih menyelenggarakan matsuri dalam bentuk pembacaan doa yang eksklusif bagi kalangan terbatas dan peserta umum tidak dibolehkan ikut serta.

Sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan penyelenggaraan matsuri sering melenceng jauh dari maksud matsuri yang sebenarnya. Penyelenggaraan matsuri sering menjadi satu-satunya tujuan dilangsungkannya matsuri, sedangkan matsuri hanya tinggal sebagai wacana dan tanpa makna religius.

Tiga matsuri terbesar

* Gion Matsuri (Yasaka-jinja, Kyoto, bulan Juli)
* Tenjinmatsuri (Osaka Temmangu, Osaka, 24-25 Juli)
* Kanda Matsuri (Kanda Myōjin, Tokyo, bulan Mei)

Matsuri yang terkenal sejak dulu

Daerah Tohoku

* Nebuta Matsuri (kota Aomori, bulan Agustus) dan Neputa Matsuri (kota Hirosaki, bulan Agustus)
* Kantō Matsuri (kota Akita, bulan Agustus)
* Sendai Tanabata Matsuri (kota Sendai, bulan Agustus)

Daerah Kanto

* Chichibuyo Matsuri (kota Chichibushi, Prefektur Saitama, 2-3 Desember)
* Sanja Matsuri (Asakusa-jinja, Tokyo, bulan Mei)
* Sannō Matsuri (Hie-jinja, Tokyo, bulan Juni)

Daerah Chubu

* Owarafū no bon (kota Toyama, Prefektur Toyama, bulan September)
* Shikinenzōei Onbashira Daisai (kota Suwa, Prefektur Nagano, diadakan setiap 6 tahun sekali, terakhir diadakan bulan April-Mei, 2004).
* Takayama Matsuri (kota Takayama, Prefektur Gifu, bulan April dan bulan Oktober)
* Furukawa Matsuri (kota Hida, Prefektur Gifu, bulan April)

Daerah Kinki

* Aoi Matsuri (Kyoto, bulan Mei)
* Jidai Matsuri (Heian-jingu, Kyoto, bulan Oktober)
* Tōdaiji Nigatsudō Shuni-e atau dikenal sebagai Omizutori (Nigetsu-dō, kuil Tōdaiji, Nara, 12 Maret)
* Kishiwada Danjiri Matsuri (Kishiwada, Prefektur Osaka, 14-15 September)
* Nada no Kenka Matsuri dan Banshū no Aki Matsuri (Prefektur Hyogo, diselenggarakan lebih dari seratus jinja di daerah Banshū dengan pusat keramaian di kota Himeji di bulan Oktober)
* Nachi no Hi Matsuri (Nachi Katsuura, Prefektur Wakayama, bulan Juli)
* Aizen Matsuri, Tenjinmatsuri dan Sumiyoshi Matsuri yang dikenal sebagai "Tiga Matsuri Musim Panas Terbesar di Osaka" (Prefektur Osaka, bulan Juni-Juli)

Daerah Chugoku dan Shikoku

* Saidaiji Eyō (Okayama, Prefektur Okayama, bulan Februari)
* Awa Odori (Tokushima, Prefektur Tokushima, 12-15 Agustus)

Daerah Kyushu

* Hakata Gion Yamakasa (Fukuoka, Prefektur Fukuoka, bulan Juli)
* Nagasaki Kunchi (Nagasaki, Prefektur Nagasaki, 7-9 Oktober)
* Karatsu Kunchi (Karatsu, Prefektur Saga, bulan November)

Pengertian lain

Dalam bahasa Jepang, kata "matsuri" juga berarti festival dan aksara kanji untuk matsuri (祭, matsuri?) dapat dibaca sebagai sai, sehingga dikenal istilah seperti Eiga-sai (festival film), Sangyō-sai (festival hasil panen), Ongaku-sai (festival musik) dan Daigaku-sai (festival yang diadakan oleh universitas).

Shimin Matsuri adalah sebutan untuk matsuri yang diselenggarakan pemerintah daerah atau kelompok warga kota dengan maksud untuk menghidupkan perekonomian daerah dan umumnya tidak berhubungan dengan institusi keagamaan.

Festival dan Matsuri yang lain

* Festival Salju Sapporo (Sapporo, Prefektur Hokkaido, bulan Februari)
* Festival Salju Iwate (Koiwai Farm, Shizukuishi, Prefektur Iwate, bulan Februari)
* YOSAKOI Sōran Matsuri (Sapporo, Hokkaido, bulan Juni)
* Niigata Odori Matsuri (Niigata, Prefektur Niigata, pertengahan bulan September)
* Odawara Hōjō Godai Matsuri (kota Odawara, Prefektur Kanagawa)
* Yosakoi Matsuri (kota Kochi, Prefektur Kochi, 9-12 Agustus)
* Hakata dontaku (3-4 April, kota Fukuoka)
* Hamamatsu Matsuri (3-5 Mei, kota Hamamatsu, Prefektur Shizuoka)
* Wasshoi Hyakuman Natsu Matsuri (kota Kita Kyūshū, Prefektur Fukuoka, hari Sabtu minggu pertama bulan Agustus)

Kempo

Kempo adalah nama generik untuk beberapa aliran Seni bela diri yang berasal dari Jepang dan banyak menggunakan permainan tangan. Jadi bukan nama satu aliran saja melainkan nama dari banyak aliran dan metode. Arti dari Kempo sendiri adalah beladiri dengan permainan tangan (didalam bahasa Mandarin disebut Quanfa).

Adapun beberapa aliran Kempo yang terkenal di Jepang dan negara-negara Barat adalah:

1. Tenshin Koryu Kempo, seni beladiri yang sudah berusia ratusan tahun sejak sebelum zaman Tokugawa (Era Meiji). Guru besar terakhir dari aliran ini adalah Ueno Takashi. Beladiri Tenshin Koryu Kempo ini berasal dari kombinasi antara Jujutsu aliran Shinto Tenshin-ryu, teknik persenjataan dan tangan kosong Asayama Ichiden-ryu dan Shinto Muso-ryu dengan jurus Daken Taijutsu aliran Hontai Kijin Chosui-ryu Kukishinden Daken Taijutsu. Salah satu pewaris dari aliran ini adalah grandmaster Shoto Tanemura dari Genbukan Dojo.

2. Nihon Kempo, seni beladiri modern hasil ciptaan Master Masaru Sawayama. Beladiri yang unik dan merupakan kombinasi teknik pukul-tendang dari Karate dengan teknik bantingan dan pergumulan dari Judo dan Jujutsu. Sekarang sudah menjadi sebuah olahraga yang diminati di berbagai negara.

3. Kosho-ryu Kempo, seni beladiri turun temurun dari keluarga Mitose. Grandmaster terakhir dari aliran ini adalah Masayoshi Mitose yang kemudian menurunkan ilmunya kepada murid-muridnya yang berkebangsaan Amerika. Sehingga aliran Kempo ini dikenal dengan nama American Kenpo Karate.

4. Shorinji Kempo, seni beladiri berasal dari gabungan Indo Kempo (Ilmu Bela diri dari India) dan ilmu ketabiban Tiongkok kuno yang diciptakan oleh Bodhidharma/ Dharma Taishi/ Tatmo Cowsu seorang biksu Buddha untuk diberikan kepada calon bikhsu sebagai pendidikan keagamaan pada Zen Budhisme, pada tahun 550 M, disebarkan sesudah perang dunia ke 2 oleh So Doshin.

Karate



Karate (空 手 道) adalah seni bela diri yang berasal dari Jepang. Seni bela diri karate dibawa masuk ke Jepang lewat Okinawa. Seni bela diri ini pertama kali disebut "Tote” yang berarti seperti “Tangan China”. Waktu karate masuk ke Jepang, nasionalisme Jepang pada saat itu sedang tinggi-tingginya, sehingga Sensei Gichin Funakoshi mengubah kanji Okinawa (Tote: Tangan China) dalam kanji Jepang menjadi ‘karate’ (Tangan Kosong) agar lebih mudah diterima oleh masyarakat Jepang. Karate terdiri dari atas dua kanji. Yang pertama adalah ‘Kara’ 空 dan berarti ‘kosong’. Dan yang kedua, ‘te’ 手, berarti ‘tangan'. Yang dua kanji bersama artinya “tangan kosong” 空手.

Asas karate adalah sama. Namun terdapat beberapa jenis gaya karate yang utama yaitu:

1. Shotokan
2. Goju-Ryu
3. Shito-Ryu
4. Wado-Ryu
5. Kyokushin

Di negara Jepang, organisasi yang mewadahi olahraga Karate seluruh Jepang adalah Japan Karatedo Federation (JKF). Adapun organisasi yang mewadahi Karate seluruh dunia adalah WKF (World Karate Federation), (dulu dikenal dengan nama WUKO - World Union of Karatedo Organizations). Ada pula ITKF (International Traditional Karate Federation) yang mewadahi karate tradisional. Adapun fungsi dari JKF dan WKF adalah terutama untuk meneguhkan Sport Karate yang bersifat Non-Contact, berbeda dengan aliran Kyokushin atau Daidojuku yang Full Contact.

Latihan dasar karate terbagi tiga seperti berikut:

1. Kihon, yaitu latihan teknik-teknik dasar karate seperti teknik memukul, menendang dan menangkis.
2. Kata, yaitu latihan jurus atau bunga karate.
3. Kumite, yaitu latihan tanding atau sparring.

Pada zaman sekarang karate juga dapat dibagi menjadi aliran tradisional dan aliran olah raga. Aliran tradisional lebih menekankan aspek bela diri dan teknik tempur sementara aliran olah raga lebih menumpukan teknik-teknik untuk pertandingan olah raga.

Judo

Judo (bahasa Jepang: 柔道 ) adalah seni bela diri, olahraga, dan filosofi yang berakar dari Jepang. Judo dikembangkan dari seni bela diri kuno Jepang yang disebut Jujutsu. Jujutsu yang merupakan seni bertahan dan menyerang menggunakan tangan kosong maupun senjata pendek, dikembangkan menjadi Judo oleh Kano Jigoro (嘉納治五郎) pada 1882. Olahraga ini menjadi model dari seni bela diri Jepang, gendai budo, dikembangkan dari sekolah (koryu) tua. Pemain judo disebut judoka atau pejudo. Judo sekarang merupakan sebuah cabang bela diri yang populer, bahkan telah menjadi cabang olahraga resmi Olimpiade.

Sejarah

Sebelum Judo

Pegulat sumo zaman dahulu kala menjatuhkan lawannya tanpa senjata. Hal ini menginspirasikan teknik-teknik bela diri jujutsu. Sumo pada awalnya hanya dinikmati kaum aristokrat sebagai ritual atau upacara keagamaan pada zaman Heian (abad ke-8 hingga abad ke-12).

Pada perkembangannya, Jepang memasuki masa-masa perang di mana kaum aristokrat digeser kedudukannya oleh kaum militer. Demikian pula olahraga yang sebelumnya hanya dijadikan hiburan, oleh kaum militer dijadikan untuk latihan para tentara. Pada masa inilah teknik jujutsu dikembangkan di medan pertempuran. Para prajurit bertempur tanpa senjata atau dengan senjata pendek. Teknik menjatuhkan lawan atau melumpuhkan lawan inilah yang dikenal dengan nama jujutsu.

Pada zaman Edo (abad ke-17 hingga abad ke-19) di mana keadaan Jepang relatif aman, jujutsu dikembangkan menjadi seni bela diri untuk melatih tubuh bagi masyarakat kelas ksatria. Gaya-gaya jujutsu yang berbeda-beda mulai muncul, antara lain Takenouchi, Susumihozan, Araki, Sekiguchi, Kito, dan Tenjinshin'yo.

Awal mula Judo

Jigoro Kano menambahkan gayanya sendiri pada banyak cabang jujutsu yang ia pelajari pada masa itu (termasuk Tenjinshiyo dan Kito). Pada tahun 1882 ia mendirikan sebuah dojo di Tokyo yang ia sebut Kodokan Judo. Dojo pertama ini didirikan di kuil Eisho ji, dengan jumlah murid sembilan orang.

Tujuan utama jujutsu adalah penguasaan teknik menyerang dan bertahan. Kano mengadaptasi tujuan ini, tapi lebih mengutamakan sistem pengajaran dan pembelajaran. Ia mengembangkan tiga target spesifik untuk judo: latihan fisik, pengembangan mental / roh, dan kompetisi di pertandingan-pertandingan.

Perbedaan Judo dan Jujutsu

Terjemahan harafiah dari kata 'judo' adalah 'cara yang halus'. 'Cara' atau 'jalan' yang dimaksud disini memiliki arti konotasi secara etika dan filosofis. Kano mengungkapkan konsep filosofinya dengan dua frase, "Seiryoku Zen'yo" (penggunaan energi secara efisien) dan "Jita Kyoei" (keuntungan bagi diri sendiri dan orang lain). Meskipun disebut halus, namun sebenarnya judo merupakan kombinasi dari teknik-teknik keras dan lembut, maka dari itu judo dapat pula diartikan sebagai 'cara yang lentur'.

Jujutsu, pada sisi yang lain, memiliki terjemahan harafiah 'kemampuan yang halus'. Latihan jujutsu dipusatkan pada cara-cara ([[kata (bela diri)|Kata]]) tertentu dan formal, sedangkan judo menekankan pada latihan bebas teknik tertentu dalam perkelahian bebas (randori). Hal ini membuat pelatihan judo berjalan lebih dinamis.

Para kontestan jujutsu menggunakan seragam yang relatif berat (hakama). Para praktisi awal judo menggunakan semacam celana pendek, namun tidak lama kemudian mereka lebih memilih menggunakan busana Barat yang dinilai lebih memiliki keunggulan fungsi dan mengijinkan pergerakan yang lebih bebas. Seragam modern judo (judogi) dikembangkan pada tahun 1907.

Teknik-teknik jujutsu, selain teknik dasar seperti melempar dan menahan, menggunakan pukulan, tendangan, bahkan menggunakan senjata pendek. Pada sisi lain, judo menghindari tendangan dan pukulan-pukulan yang berbahaya, dan lebih dipusatkan pada teknik membanting yang terorganisir dan teknik bertahan.

Penggunaan akhiran -do dan -jutsu

Banyak cabang beladiri Jepang yang mempunyai awalan yang sama namun memiliki dua akhiran '-do' dan '-jutsu'. Bujutsu dan budo serta Kenjutsu dan kendo adalah beberapa contohnya. Perbedaan dasar dari kedua akhiran ini adalah '-do' berarti 'jalan' dan '-jutsu' yang artinya 'jurus' atau 'ilmu'. Selain itu dalam bela diri berakhiran '-do' biasanya lebih banyak peraturan yang tidak memungkinkan seseorang untuk terluka akibat serangan yang fatal, namun tidak demikian halnya dengan bela diri yang berakhiran dengan kata '-jutsu', misalnya di dalam kendo, hanya bagian tangan, perut, kaki, dan bagian bawah dagu yang boleh diserang, sedangkan kenjutsu membolehkan serangan ke semua bagian tubuh.

Secara umum, budo ('bu-' artinya prajurit) adalah pengembangan dari bujutsu yang telah disesuaikan dengan zaman sekarang (untuk olahraga, bukan berkelahi). Beberapa contoh bujutsu yang dikembangkan menjadi budo:

• Jujutsu -> Judo
• Kenjutsu -> Kendo
• Aiki-Jujutsu -> Aikido
• Kempo jutsu -> Kempo Do
• Karate jutsu -> Karate Do
• Battoujutsu/Iaijutsu -> Battoudo/Iaido

Judo sebagai cabang olahraga

Judoka perempuan

Kaum perempuan pertama kali diterima sebagai judoka pada tahun 1893, walaupun pada saat itu kaum olahragawati dianggap sebelah mata di dalam struktur masyarakat Jepang. Meskipun demikian, kemajuan yang dramatis ini hanya berlangsung sebentar, karena pada hakekatnya mereka masih dijauhkan dari pertandingan-pertandingan resmi, dengan alasan keselamatan fisik.

Setelah Perang Dunia II, judo bagi laki-laki dan perempuan diperkenalkan keluar Jepang. Persatuan Judo Eropa dibentuk pada tahun 1948, diikuti dengan pembentukan Federasi Internasional Judo pada tahun 1951. Judo menjadi salah satu cabang olahraga resmi Olimpiade pada Olimpiade Tokyo 1964 di Tokyo, Jepang. Judoka perempuan pertama kali berlaga di Olimpiade pada Olimpiade Barcelona 1982 di Barcelona, Spanyol.

Tingkatan Judo dan warna ikat pinggang

Dimulai dari kelas pemula (shoshinsha) seorang judoka mulai menggunakan ikat pinggang dan disebut berada di tingkatan kyu kelima. Dari sana, seorang judoka naik tingkat menjadi kyu keempat, ketiga, kedua, dan akhirnya kyu pertama. Setelah itu sistem penomoran dibalik menjadi dan pertama (shodan), kedua, dan seterusnya hingga dan kesepuluh, yang merupakan tingkatan tertinggi di judo. Meskipun demikian, sang pendiri, Kano Jigoro, mengatakan bahwa tingkatan judo tidak dibatasi hingga dan kesepuluh, dan hingga saat ini karena hanya ada 15 orang yang pernah sampai ke tingkat dan kesepuluh, maka tidak ada yang pernah melampaui tingkat tersebut.

Warna ikat pinggang menunjukkan tingkatan kyu ataupun dan. Pemula, kyu kelima dan keempat menggunakan warna putih; kyu ketiga, kedua, dan pertama menggunakan warna cokelat; warna hitam dipakai oleh judoka yang sudah mencapai tahapan dan, mulai dari shodan, atau dan pertama, hingga dan kelima. Judoka dengan tingkatan dan keenam hingga dan kesembilan menggunakan ikat pinggang kotak-kotak bewarna merah dan putih, walaupun kadang-kadang juga menggunakan warna hitam. Tingkatan teratas, dan kesepuluh, menggunakan ikat-pinggang merah-putih atau merah. Judoka perempuan yang telah mencapai tahap dan keatas memiliki garis putih yang memanjang di bagian tengah ikat pinggang hitam mereka.

Lantai Judo

Pertandingan judo diselenggarakan di atas karpet atau matras (tatami) berbentuk segi empat (belah ketupat) dengan sisi 14,55 meter atau sepanjang 8 tatami yang dijajarkan. Selain dialasi matras, kebanyakan dojo judo sekarang menggunakan pegas di bawah lantai palsu, untuk menahan benturan akibat bantingan.

Di awal pertandingan, kedua judoka berdiri di tengah-tengah tepat di belakang garis sejajar dengan diawasi oleh juri. Sebelum dimulai, kedua judoka tersebut menunduk memberi hormat satu sama lain dari belakang garis. Di sudut atas dan bawah belah ketupat duduk dua orang hakim, dan di belakang masing-masing judoka, di luar arena yang dibatasi matras, duduk judoka-judoka dari regu yang sama, dan duduk pula seorang pencatat waktu dan seorang pencatat nilai.

Pertandingan diselenggarakan di dalam arena di dalam matras yang dibatasi oleh (dan termasuk didalamnya) garis merah (jonai). Luas arena tersebut adalah 9,1 meter persegi dan terdiri dari 50 tatami. Waza atau teknik judo yang dipakai di arena diluar garis merah (jogai) tersebut dianggap tidak sah dan tidak dihitung.

Seragam Judo

Seragam (gi) longgar yang dikenakan seorang judoka (judogi) harus sesuai ukurannya.

Jaket

Bagian bawah jaket menutupi pantat ketika ikat pinggang dikenakan. Antara ujung lengan dengan pergelangan tangan selisih 5-8 cm. Lengan baju panjangnya sedikit lebihnya dari dua pertiga panjang lengan. Karena jaket ini dirancang untuk menahan benturan tubuh akibat dibanting ke lantai, maka bahannya umumnya lebih tebal dari seragam karate (karategi) atau bela diri yang lain.

Ikat pinggang

Ikat pinggang harus cukup panjang sehingga menyisakan 20-30 cm menjuntai pada masing-masing sisi.

Celana

Celana yang dipakai sedikit longgar. Antara ujung celana dengan pergelangan kaki selisih 5-8 cm. Celana panjangnya sedikit lebihnya dari dua pertiga panjang kaki.

Mengenakan seragam

Celana dikenakan dan tali celana dikencangkan. Jaket kemudian dikenakan dengan sisi kiri di atas sisi kanan. Kenakan ikat pinggang dengan cara meletakkan tengah-tengah sabuk di depan perut, kemudian kedua ujung sabuk diputar melingkar di belakang pinggang kembali ke depan; pegang kedua ujung sabuk, lalu talikan dengan kedua ujung berakhir secara horisontal. Talikan dengan kencang sehingga tidak lepas pada saat pertandingan.

Peraturan pertandingan

Pertandingan judo diadakan antara perorangan dan juga beregu. Beberapa kompetisi membagi pertandingan menjadi 8 kategori, berdasarkan berat tubuh. Kompetisi lain membagi pertandingan berdasarkan tingkatan dan, umur, dan lain-lain. Ada juga yang tidak mengenal pembagian apapun.

Satu pertandingan judo berlangsung selama 3-20 menit. Pemenang ditentukan dengan jalan judoka pertama yang meraih satu angka, baik dengan bantingan maupun kuncian. Jika setelah waktu yang ditentukan tidak ada pemain yang memperoleh satu angka, pemain dengan nilai lebih tinggi menang atau pertandingan berakhir seri.

Judo, sebagaimana olahraga lain dari Jepang, diselenggarakan dengan penuh tata krama. Kedua judoka membungkuk memberi hormat satu sama lain pada awal dan akhir pertandingan.

Awal pertandingan

Judoka menghadap satu sama lain, meluruskan telapak kaki mereka di belakang garis masing-masing di tengah-tengah arena dan berdiri tegak lurus. Lalu mereka saling membungkuk pada saat yang sama. Kemudian mereka maju satu langkah, diawali dengan kaki kiri, dan berdiri dengan posisi kuda-kuda alami (shizen hon tai). Sang juri atau wasit lalu berkata "Mulai" (Hajime) dan pertandingan pun dimulai.

Akhir pertandingan

Kedua judoka kembali dalam posisi kuda-kuda alami dan menghadap satu sama lain satu langkah di depan garis mereka masing-masing. Juri kemudian mengumumkan hasil pertandingan, dan kedua kontestan mundur selangkah ke belakang garis dimulai dengan kaki kanan. Mereka lalu membungkuk lagi dan keluar dari arena.

Sistem penilaian

Satu angka (ippon) dapat diperoleh dengan jalan:

• Bantingan (nage waza): Jika judoka dapat mengungguli teknik lawan dengan membantingnya dengan tenaga dan kecepatan dengan punggung membentur lantai terlebih dahulu.
• Kuncian (katame waza): Jika judoka berhasil mengunci lawan sehingga ia mengucapkan kata "Aku menyerah!" (maitta), atau menepuk lantai dua kali dengan tangan atau kaki, pingsan, atau jika kuncian tersebut berlangsung paling sedikit 30 detik (osae waza) dan diumumkan bahwa pertandingan berakhir (osae komi)

Setengah angka (waza ari) dapat diperoleh dengan cara:

• Bantingan: Jika teknik judoka cukup bagus namun tidak sampai layak untuk menerima angka penuh.
• Kuncian: Jika judoka berhasil mengunci lawannya selama paling tidak 25 detik.

Dua waza ari berarti satu angka, namun setengah angka saja tidak cukup untuk menentukan seorang pemenang, maka oleh para perancang pertandingan dibuatlah sistem angka tambahan.

Tambahan (yuko dan koka) yang tidak peduli berapapun tidak akan mengungguli satu 'Setengah-angka', namun dapat menjadi penentu jika masing masing judoka memperoleh nilai yang sama (1W1Y0K - 1 Waza dan 1 Yuko menang melawan 1W0Y9K - 1 Waza dan 9 Koka).

Angka tambahan ini diperoleh jika teknik yang diperagakan tidak cukup bagus untuk memperoleh nilai setengah (yuko) atau tidak cukup bagus untuk memperoleh yuko (koka). Tidak jarang suatu pertandingan ditentukan dengan banyaknya yuko dan koka yang diperoleh (karena satu angka otomatis menang dan dua setengah-angka juga otomatis menang)

Jika jumlah nilai yang diperoleh kedua judoka sama, maka kadang-kadang suatu pertandingan menggunakan sistem pemungutan suara antara kedua hakim sudut dan juri (dengan total tiga suara).

Teknik terlarang

Teknik-teknik atau waza yang berbahaya tidak diijinkan penggunaannya. Total teknik terlarang berjumlah 31 (32 untuk perempuan). Judoka akan dikenai empat tingkatan sanksi, tergantung seberapa berat pelanggaran yang dilakukan. Untuk tiap-tiap jenis pelanggaran, pertandingan dihentikan sejenak dan kedua judoka kembali ke garis masing-masing.

Pelanggaran ringan (shido) adalah peringatan untuk pelanggar peraturan yang tidak seberapa berbahaya. Judoka diberi peringatan awasete chui jika melakukannya untuk kedua kalinya. Pelanggaran ini memiliki nilai berkebalikan dengan satu koka. Beberapa tindakan yang akan mendapat peringatan:

• Seorang judoka kehilangan semangat bertarung dan tidak menyerang selama lebih dari 30 detik
• Melepas ikat pinggang lawan atau ikat pinggang sendiri tanpa ijin dari juri
• Melilit tangan lawan dengan ujung ikat pinggang (atau ujung baju)
• Memelintir atau berpegang pada ujung lengan baju maupun celana lawan
• Memasukkan bagian seragam lawan manapun ke dalam mulut (menggigit seragam lawan)
• Menyentuh wajah lawan dengan bagian tangan atau kaki manapun
• Menarik rambut lawan
• Mengunci telapak tangan lawan dengan telapak tangan sendiri selama lebih dari 6 detik dalam posisi berdiri

Pelanggaran kecil (chui) adalah peringatan untuk pelanggaran yang lebih berat dari pelanggaran ringan. Pelanggaran ini memiliki efek negatif sebesar yuko Beberapa contohnya sebagai berikut:

• Memasukkan bagian kaki manapun ke seragam lawan, baik ikat pinggang maupun jaket, selama kuncian dilakukan lawan
• Mencoba mematahkan jari lawan untuk melepaskan genggaman lawan
• Menendang tangan lawan dengan kaki atau lutut untuk lepas dari cengkeraman lawan

Pelanggaran berat (keikoku) adalah pelanggaran yang dapat dikenai sanksi dan teguran keras. Judoka yang melakukan pelanggaran ini akan dikurangi nilainya sebesar setengah angka. Dua pelanggaran kecil memungkinkan dikenainya sanksi yang sama.

Contoh pelanggaran-pelanggaran berat:

• Mengunci lengan lawan (kansetsu waza) di manapun selain di sikut.
• Menarik lawan yang tergeletak menengadah ke atas di lantai dan kemudian membantingnya kembali.
• Seorang judoka melakukan tindakan berbahaya apapun yang bertentangan dengan jiwa judo.

Pelanggaran serius (hansoku make) adalah pelanggaran yang dapat membuat seorang judoka didiskualifikasi karena melakukan pelanggaran yang sangat berat sehingga membahayakan baik lawannya maupun orang lain. Empat kali peringatan (shido) juga dapat dikenai sanksi ini.

Posisi tubuh dalam judo

Posisi tubuh yang benar merupakan bagian yang penting di dalam judo.

Posisi duduk

Duduk bersila (seiza) dari posisi berdiri, kaki kiri ditarik ke belakang, lalu lutut kiri diletakkan ke lantai di tempat di mana jari kaki kiri tadinya berada. Lakukan hal yang sama dengan kaki kanan, dan kedua kaki pada saat ini harus bersangga pada jari kaki dan lutut. Kemudian luruskan jari kaki sejajar dengan lantai dan pantat diletakkan di atas pangkal kaki. Letakkan kedua tangan di atas paha masing-masing sisi. Untuk berdiri, lakukan prosedur yang sama dengan cara terbalik.

Memberi hormat (zarei) dengan bersila, bungkukkan badan ke depan sampai kedua telapak tangan menyentuh lantai dengan jari tangan menghadap ke depan. Diam dalam posisi ini selama beberapa saat, kemudian kembali ke posisi bersila.

Posisi berdiri

Memberi hormat (ritsurei) berdiri dengan kedua pangkal kaki didekatkan, bungkukkan badan ke depan sekitar 30 derajat dengan telapak tangan di depan paha. Diam dalam posisi ini selama beberapa saat, kemudian kembali ke posisi berdiri.

Posisi alami (shizen tai) Kaki dibuka sekitar 30 cm dalam posisi natural dengan berat badan yang dibagi sama rata di kedua kaki. Istirahatkan otot bahu dan tangan. Ini adalah postur dasar dan alami judo.

Posisi bertahan (jigo tai) Dari posisi alami, kaki dibuka lebih lebar, lutut ditekuk agar pusat gravitasi tubuh lebih turun.

Melangkah (suri ashi) Cara berjalan di dalam judo dengan cara telapak kaki menyusuri lantai untuk menjaga kestabilan. Pastikan langkahnya sama rata dan pusat gravitasi tetap di posisi yang sama agar dapat bergerak lincah ke segala arah.

• Kanan-kiri (ayumi ashi): Seperti berjalan biasa, telapak kaki melewati satu sama lain ketika berjalan
• Kanan-kanan (tsugi ashi): Setelah kaki pertama maju, kaki kedua yang maju tidak melebihi posisi kaki pertama

Posisi jatuh dan berguling

Menguasai posisi ini memungkinkan untuk melindungi diri sendiri ketika dijatuhkan atau dibanting lawan dan mengurangi ketakutan ketika dilempar oleh lawan.

Jatuh ke belakang (ushiro ukemi) Kaki disatukan dan tangan juga disatukan, jatuhkan punggung ke matras dengan tangan lurus di samping tubuh dan telapak tangan menyentuh lantai untuk menahan jatuh. Lindungi bagian belakang kepala dengan menyentuhkan dagu ke tubuh.

Jatuh ke samping (yoko ukemi) Dari posisi berdiri, jatuhkan diri ke belakang, angkat kedua kaki satu persatu, kemudian angkat kedua tangan di depan tubuh. Berguling ke kanan (atau kiri) matras dengan kepala tetap dilindungi agar tidak menyentuh lantai. Kemudian tahan tubuh dengan tangan dan telapak tangan kanan (atau kiri).

Jatuh ke depan (mae ukemi) Jatuhkan diri ke depan dengan kedua telapak tangan di depan muka, sikut ditekuk. Jatuh tertelungkup dengan ditahan oleh kedua tangan, badan diluruskan, otot perut dikencangkan, dan tahan tubuh dengan ditahan oleh kedua tangan dan jari kaki (lutut diangkat).

Berguling ke depan (mae mawari ukemi) Berguna pada saat dilemparkan oleh lawan. Dari posisi berdiri, kaki kanan dimajukan telapak tangan kiri disentuhkan ke lantai. Bahu kanan kemudian dilemparkan ke depan dengan telapak tangan menghadap ke belakang, ini dilakukan bersamaan dengan kedua kaki menjejak lantai dan berguling ke depan. Kedua kaki dan tangan hendaknya menyentuh lantai secara bersamaan.

Teknik Judo

Teknik bantingan judo (nage waza) dapat dibagi menjadi teknik berdiri (tachi waza) dan teknik menjatuhkan diri (sutemi waza). Teknik berdiri dibagi lagi menjadi teknik tangan (te waza), teknik pangkal paha (koshi waza), dan teknik kaki (ashi waza). Teknik menjatuhkan diri dibagi lagi menjadi teknik menjatuhkan diri ke belakang (ma sutemi waza) dan teknik menjatuhkan diri ke samping (yoko sutemi waza)

Teknik kuncian judo (katame waza) dapat dibagi menjadi teknik menahan (osae waza atau osaekomi waza), teknik jepit (shime waza), dan teknik sambungan (kansetsu waza)

Teknik menyerang (atemi waza) dengan tendangan atau pukulan bahkan dengan senjata pisau atau pedang kadang digunakan untuk latihan bagi judoka tingkatan tinggi, walaupun dalam pertandingan resmi hal tersebut dilarang (demikian pula pada saat latihan bebas (randori)

Teknik bantingan (teknik berdiri)

• Sapuan lutut - hiza guruma
• Jegal dari belakang - o soto gari
• Jegal dari depan - 'ko uchi gari
• Sapuan samping - deashi barai
• Bantingan paha - uchi mata
• Bantingan pangkal paha memutar - o goshi
• Bantingan pangkal paha angkat - surikomi goshi
• Bantingan pangkal paha sapuan - harai goshi
• Lemparan bahu - seoi nage
• Menjatuhkan tubuh - tai otoshi
• Lemparan guling belakang - tomoe nage

Teknik kuncian (teknik berbaring)

Teknik kuncian (katame waza) disebut juga teknik berbaring (ne waza) karena teknik ini dilakukan ketika seorang judoka atau lawannya berbaring menghadap ke atas atau ke bawah.

• Kuncian pinggang - kesa gatame
• Kuncian bahu - kata gatame
• Kuncian empat sisi - yoko shiho gatame
• Kuncian empat sisi atas - kami shiho gatame
• Kuncian belakang - kataha jime
• Kuncian kalung - okuri eri jime
• Kuncian tangan - ude garami
• Kuncian tangan silang - ude hishigi juji gatame

Pertolongan pertama judo

Seringkali di dalam pertandingan judo, seorang judoka mengalami asphyxia, di mana judoka mengalami kesulitan bernafas karena kekurangan oksigen. Untuk itu, judo telah mengembangkan suatu pertolongan pertama untuk mengembalikan kesadaran mereka yang terkena asphyxia atau aspiksia. Hal ini dapat terjadi jika kuncian yang dilakukan terlalu kuat sehingga lawan berhenti bernafas sesaat. Orang tersebut segera memerlukan pertolongan darurat di tempat.

Judo di Indonesia

Judoka Indonesia bernaung di bawah PJSI (Persatuan Judo Seluruh Indonesia) yang bernaung di bawah KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia). Tokoh-tokoh Judo Indonesia antara lain Ferry Sonneville, pebulutangkis yang aktif membidani lahirnya PJSI; Perry G. Pantouw, juara SEA Games 1983; Kresna Bayu, Maya Fransisca, Ira Purnamasari, Aprilia Marzuki, Peter Taslim, atlit judoka Indonesia.

Pada tahun 1970-an dan 1980-an dikenal nama-nama atlit seperti Bambang Prakasa, Ceto Cosadek, Raymond Rochili dsb. Dibawah kepemimpinan Ir. Soehoed saat itu, Judo merintis didirikannya training center untuk pelatnas di Ciloto, Puncak, Jawa Barat. Saat itu di Jakarta sangat berkembang berbagai perguruan Judo, seperti misalnya Judo Waza di Jakarta Selatan (dipimpin oleh alm. Robert Judono/ Robert Jung), Perguruan Judo Tiang Bendera di Jakarta Utara, dan sebagainya.

Saat ini perkembangan Judo di daerah juga mulai pesat. Semisal perdepokan Judo Mataram Bantul (Wiramataram) dibawah bimbingan Guru Om Tjong (Budy Tanudjaya) dan dipimpin oleh Dain Santoso meraih 8 emas di kejuaraan Judo daerah DIY.

Aikido 合気道

Fokus : Bergumul

Negara asal :Japan

Pencipta : Morihei Ueshiba

Seni pendahulu : aiki-jūjutsu; judo; jujutsu; kenjutsu; sōjutsu

Olahraga Olimpiade : Tidak

Aikido (Bahasa Jepang: 合気道, aikidō) adalah salah satu seni beladiri asal Jepang yang diciptakan oleh Morihei Ueshiba ( 植芝 盛平 Ueshiba Morihei), yang banyak bagiannya berasal dari ilmu beladiri Daito Ryu Aiki-Jujutsu. Daito Ryu Aiki-Jujutsu diciptakan pada era modernisasi Jepang yang berlangsung sekitar tahun 1800-an.

Pengajaran Aikido saat ini telah dapat ditemukan di seluruh belahan dunia dan dalam beberapa aliran, dengan penafsiran dan penekanan yang berbeda-beda atas ajaran Ueshiba. Namun, kesemuanya tetap mewarisi berbagi teknik yang sama, dan sebagian besar tetap mempertahankan keperdulian terhadap aspek keselamatan bagi pihak yang menyerang.

Sejarah


Aikido diciptakan oleh Morihei Ueshiba ( 植芝 盛平 Ueshiba Morihei, 14 Desember 1883-26 April 1969, disebut juga sebagai ousensei 大先生、翁先生 " guru besar"), yang diformulasikannya sejak akhir 1920-an sampai dengan 1930-an. Ueshiba menyusun dan mengembangkan Aikido dari berbagai koryu (seni beladiri/seni pedang lama) menjadi suatu seni beladiri yang unik. Dojo pertama Aikido didirikan di Tokyo dan saat ini masih ada dan bernama Aikikai Hombu Dojo.

Ueshiba menginginkan Aikido tidak hanya sebagai perpaduan seni beladiri, tetapi juga ekspresi falsafah pribadinya yang bersifat damai dan universal. Seumur hidupnya, Ueshiba dan murid-muridnya telah menyebarkan Aikido dengan cara mendidik dan menciptakan praktisi beladiri ini di seluruh dunia. Ueshiba meninggal pada tanggal 26 April 1969 karena penyakit kanker,[5] namun Aikido tetap berkembang pesat setelah kematiannya.

Etimologi dan filsafat


Aikido menekankan harmonisasi dan keselarasan antara energi ki (気, prana) individu dengan ki alam semesta. Kata "aikido" berasal dari tiga huruf kanji:

• 合 - ai - bergabung, menyatukan, menyelaraskan
• 気 - ki - roh, energi kehidupan
• 道 - dō - jalan, cara

Seni beladiri ini juga menekankan pada prinsip kelembutan dan bagaimana untuk mengasihi serta membimbing lawan. Prinsip ini diterapkan pada gerakan-gerakannya yang tidak menangkis serangan lawan atau melawan kekuatan dengan kekuatan tetapi "mengarahkan" serangan lawan untuk kemudian menaklukkan lawan tanpa ada niat untuk mencederai lawan.

Tehnik



Diagram ikkyō, atau "teknik pertama" Aikido.

Berbeda dengan beladiri pada umumnya yang lebih mengutamakan pada latihan kekuatan fisik dan stamina, Aikido lebih mendasarkan latihannya pada penguasaan diri dan kesempurnaan teknik. Teknik-teknik yang digunakan dalam Aikido kebanyakan berupa teknik elakan, kuncian, lemparan, bantingan. Sementara teknik-teknik pukulan maupun tendangan dalam praktiknya jarang digunakan. Falsafah yang mendasari Aikido, yaitu kasih dan konsep mengenai ki, membuat Aikido menjadi suatu seni beladiri yang unik. Secara umum Aikido dapat golongkan sebagai beladiri kuncian dan pergumulan (Inggris: grappling).

Dalam Aikido ini juga tidak mengenal sistem kompetisi atau pertandingan, seperti beladiri-beladiri lainnya. Namun sistem kompetisinya lebih bersifat embukai (peragaan teknik).

Aikido juga mendapatkan pengaruh dari seni beladiri tradisional Jepang Kenjutsu dan Jujutsu. Pengaruh Kenjutsu tampak dalam pengaturan gerakan gerakan atau langkah langkah kaki. Sedangkan pengaruh Jujutsu tampak dalam penggunaan teknik kuncian dan lemparan.

Hingga saat ini Aikido juga banyak memiliki banyak cabang-cabang "teknik" (Inggris: style) yang juga memperkaya teknik-teknik yang tidak meninggalkan teknik dasarnya. Aliran Nisyo misalnya lebih menekankan style teknik-tekniknya kepada pedang (bokken) dan tongkat (jo). Sedangkan aliran Iwama lebih menekankan teknik-tekniknya kepada kecepatan dalam mengatasi serangan lawan (nage).

Sistem tingkatan

tingkat sabuk warna tipe :

kyū putih mudansha
shodan hitam yūdansha

Sistem tingkatan yang harus dilalui oleh seorang praktisi Aikido hampir sama dengan yang digunakan oleh seni beladiri asal Jepang lainnya, yaitu sistem Kyu (mudansha, tidak memiliki dan) untuk tingkat dasar dan Shodan (yūdansha, memiliki dan = ahli) untuk tingkat mahir.

Praktisi yang berada di tingkat kyu 6 sampai kyu 4 menggunakan tanda berupa sabuk yang berwarna putih, sementara praktisi yang mencapai tingkatan kyu 3 sampai 1 menggunakan sabuk berwarna cokelat. Adapula dojo yang menerapkan sabuk kyu 6 sampai 1 tetap berwarna putih. Shodan adalah tingkatan yang selanjutnya; praktisi yang mencapai tingkatan ini ditandai dengan sabuk yang berwarna hitam serta aksesoris tambahan berupa celana panjang bernama hakama. Celana seperti ini biasa dipakai oleh para samurai pada zaman dahulu.

Kimono

Kimono (bahasa Jepang: 着物 secara harafiah: "sesuatu yang dikenakan seseorang," atau "pakaian") adalah pakaian nasional Jepang. Bagi orang Jepang, kimono lebih dikenal dengan sebutan Wafuku (bahasa Jepang: 和服 secara harafiah: "pakaian Jepang") atau Gofuku (bahasa Jepang: 呉服 secara harafiah: "pakaian dari zaman Go di Tiongkok") untuk membedakannya dengan pakaian barat (Yofuku). Kimono yang dikenal sekarang ini berbentuk seperti huruf "T," berupa mantel berkerah yang panjangnya sampai ke pergelangan kaki. Kimono untuk pria terdiri dari setelan atas-bawah, sedangkan kimono untuk wanita berbentuk baju terusan.

Cara memakai kimono dalam bahasa Jepangnya disebut Kitsuke. Peraturan dalam memakai kimono sangatlah terinci, mulai dari jenis-jenis kimono yang sesuai dengan acaranya, hingga aksesori yang sesuai dengan jenis kimono tertentu. Belajar mengenakan kimono juga bukan hal yang mudah, sehingga di Jepang banyak terdapat tempat kursus untuk belajar pakai kimono. Di toko-toko juga banyak dijual alat-alat bantu yang memudahkan orang memakai kimono. Walaupun sebetulnya kimono dapat dikenakan sendiri tanpa bantuan orang lain, kebanyakan wanita Jepang masih harus dibantu orang yang profesional sewaktu mengenakan kimono.


Membeli Kimono


Bahan kain untuk kimono merupakan seni tenun tradisional Jepang yang bernilai seni tinggi. Kimono untuk kesempatan formal dibuat hanya dari bahan kain sutera kelas terbaik dan hanya dijahit dengan tangan (tidak menggunakan mesin jahit), sehingga harganya menjadi sangat mahal. Kimono juga tidak pernah dijual dalam keadaan sudah jadi, melainkan harus dipesan sesuai dengan ukuran badan pemakainya.


Bahan kain untuk kimono haruslah kain yang ditenun dengan sempurna tanpa cacat dan harus dibeli dalam satu gulungan kain dengan tidak memperhitungkan tinggi badan si pembeli. Membeli kimono dimulai dengan memilih bahan kain untuk kimono yang disebut Tanmono (bahasa Jepang: 反物, secara harafiah: "gulungan kain yang panjangnya 1 Tan"). Jika kebetulan si pemakai kimono bertubuh pendek dan ramping, setelah kimono selesai dijahit nantinya akan banyak bahan kimono yang tersisa. Sisa-sisa bahan kimono bisa dimanfaatkan oleh si pemakai kimono untuk membuat aksesori sewaktu memakai kimono, seperti tas, dompet, atau sandal.


Kimono dapat dibeli dengan harga lebih murah pada kesempatan obral bahan kain kimono kelas dua yang disebut B-Tan Ichi (bahasa Jepang: B反市 secara harafiah: "Pasar kain kelas B") untuk membandingkannya dengan bahan kimono "kelas A" yang tenunannya sempurna tanpa cacat. Walaupun bahan kain yang dibeli mempunyai sedikit cacat, penjahit kimono yang berpengalaman dapat menyembunyikan bagian tenunan yang rusak, sehingga hasil jadinya terlihat hampir sama dengan kimono dari bahan sempurna.


Belakangan ini, di toko-toko banyak dijual kimono impor jenis Yukata yang merupakan hasil jahitan mesin di pabrik. Orang-orang Jepang banyak mengenakan Yukata produk impor yang harganya murah untuk kesempatan santai seperti menyaksikan pesta kembang api.

Nilai jual kembali


Ukuran kimono dapat disesuaikan dengan ukuran badan si pemilik, sehingga sering kimono yang dijahit dari bahan kain berkualitas dijadikan barang warisan keluarga. Kimono bekas pakai juga masih mempunyai nilai jual tinggi. Di Jepang bisa dijumpai toko-toko yang menjual kimono bekas pakai. Pada Perang Dunia II, sewaktu penduduk kota kekurangan pangan, kimono pernah digunakan sebagai alat bayar untuk membeli bahan makanan dan bumbu dapur seperti beras, telur, miso, dan gula.


Peran Kimono dalam Kebudayaan Jepang


Mengingat cara mengenakan kimono yang rumit dan harga kain tradisional untuk kimono yang mahal, kimono hanya dikenakan orang-orang Jepang zaman sekarang, baik pria maupun wanita, serta anak-anak sewaktu menghadiri acara-acara istimewa seperti hari-hari besar setempat atau mengikuti kegiatan seni dan olah raga yang bersifat tradisional.

Wanita yang sudah genap berusia 20 tahun tidak akan mau melewatkan kesempatan memakai kimono Furisode yang paling indah untuk menghadiri upacara Seijin Shiki. Begitu pula orang tua dan kakek-nenek merasa berkewajiban untuk mendandani anak-anaknya memakai kimono pada perayaan anak-anak yang berusia 7, 5 dan 3 tahun yang disebut Hichi-go-san. Selain itu, kimono banyak dikenakan oleh orang-orang yang bergerak dalam bidang industri jasa dan pariwisata, seperti pelayan wanita di restoran khas Jepang (ryotei) dan pegawai penginapan khas Jepang (ryokan).


Sejarah


Zaman Jomon dan Zaman Yayoi


Pada zaman ini kimono berbentuk baju terusan. Dari penggalian arkeologis tumpukan kulit kerang peninggalan zaman Jomon ditemukan Haniwa (barang-barang kecil dari tembikar yang dikubur untuk menemani perjalanan arwah ke alam lain) yang mengenakan pakaian atas yang disebut Kantoi (貫頭衣).

Menurut Gishiwajinden (buku sejarah yang ditulis orang Tiongkok mengenai tiga negara), pakaian untuk laki-laki adalah sangatlah sederhana, sehelai kain yang diselempangkan secara horizontal pada badan seperti pakaian pendeta Buddha, dan sehelai kain yang dililitkan di kepala. Pakaian wanita disebut Kantoi yang berupa sehelai kain yang ditengah-tengahnya dibuat lubang untuk memasukkan kepala dan tali yang digunakan sebagai pengikat di bagian pinggang.

Masih menurut catatan Gishiwajinden, kaisar wanita bernama Himiko dari Yamataikoku (sebutan untuk Jepang zaman dulu) "selalu mengenakan pakaian Kantoi berwarna putih." Pakaian rakyat biasa dari serat rami sedangkan orang yang berkedudukan mengenakan kain sutera.

Zaman Makam Kuno

Pakaian pada zaman ini mendapat pengaruh dari daratan Tiongkok, yakni terdiri dari dua potong pakaian: atas dan bawah. Haniwa mulai mengenakan baju atas seperti mantel yang dipakai di atas Kantoi, dan rok yang dililitkan di pinggang sebagai bawahannya. Haniwa yang ditemukan juga ada yang mengenakan celana berpipa lebar seperti Hakama sebagai bawahannya.

Jahitan mulai dikenal pada zaman ini. Agar Kantoi lebih mudah dipakai, di bagian depan dibuatkan bukaan dan lengan baju bagian bawah mulai dijahit. Baju atas kemudian dibagi menjadi dua jenis kerah, yaitu:

• baju atas berkerah datar sampai persis di bawah leher (Agekubi)
• baju atas dengan kerah berbentuk huruf "V" (Tarekubi) yang dipertemukan di bagian dada.

Zaman Nara


Aristokrat zaman Asuka yang bernama Pangeran Shotoku menetapkan dua belas strata jabatan dalam istana kaisar (Kan-i Junikai) yang dibeda-bedakan menurut warna hiasan penutup kepala (Kanmuri). Di dalam kitab hukum yang disebut Taiho ritsuryo, juga tercantum peraturan mengenai busana misalnya jenis-jenis pakaian resmi, pakaian pegawai istana, dan pakaian seragam yang dikenakan di dalam istana kaisar.

Pakaian formal untuk pejabat sipil (Bunkan) dijahit di bagian bawah ketiak, sedangkan pakaian formal untuk pejabat militer (Bukan) tidak dijahit di bagian bawah ketiak agar bebas dalam bergerak.

Menurut beberapa politikus legendaris yang salah satunya bernama Ononoimoko yang pernah menjabat sebagai Kenzui-shi (utusan Jepang untuk Dinasti Sui), busana dan aksesori pada zaman ini banyak dipengaruhi budaya Tiongkok yang mengalir masuk ke Jepang.

Sejak tahun 719, cara memakai kimono untuk pria maupun wanita mengalami perubahan. Bila dilihat dari depan, kerah bagian kanan harus dipertemukan di atas kerah bagian kiri. Cara ini merupakan kebalikan dari cara sebelumnya, yakni kerah bagian kiri harus di atas kerah bagian kanan.

Kuatnya pengaruh budaya Dinasti Tang juga membuat populer baju berlengan sempit yang disebut Kosode yang dikenakan sebagai pakaian dalam.

Zaman Heian

Menurut aristokrat bernama Sugawara Michizane, penghapusan Kentoshi (utusan Jepang untuk Dinasti Tang) memicu pertumbuhan budaya lokal yang ditandai dengan ketetapan resmi tata cara berbusana dan standarisasi protokol untuk upacara-upacara formal. Sayangnya hal ini berakibat pada semakin rumitnya gaya pakaian zaman Heian. Wanita pada zaman Heian mengenakan pakaian berlapis-lapis yang disebut Junihitoe. Menurut catatan, pakaian formal untuk pejabat militer (Bukan) juga kehilangan sifat kepraktisannya.

Pada zaman itu, pejabat pria mempunyai tiga jenis pakaian, yaitu:


• pakaian upacara resmi berupa setelan lengkap yang disebut Sokutai
• pakaian untuk tugas resmi sehari-hari (Ikan) yang dibuat sedikit lebih ringan dari Sokutai
• pakaian untuk kesempatan pribadi disebut Noshi yang sepintas lalu terlihat mirip dengan pakaian jenis Ikan.
Rakyat biasa mengenakan pakaian yang disebut Suikan atau Kariginu (bahasa Jepang: 狩衣 scara harafiah: "baju berburu"). Di kemudian hari, kaum aristokrat menjadikan Kariginu sebagai pakaian sehari-hari. Kaum samurai (Bushi) juga kemudian menggemari Kariginu.

Kaum samurai mengambil alih kekuasaan dan menjadikan bangsawan istana terasing dari dunia politik. Pakaian yang merupakan simbol status bagi bangsawan istana beralih menjadi simbol status kamu samurai.

Zaman Kamakura dan Zaman Muromachi

Kekuasaan pemerintahan beralih ke tangan para samurai di zaman Sengoku. Prajurit samurai mengenakan pakaian bernama Suikan, yang perlahan-lahan berubah menjadi pakaian yang disebut Hitatare yang kemudian pada zaman Muromachi dijadikan pakaian resmi kaum samurai.
Pada zaman ini muncul kimono yang disebut Suo (素襖) yang berciri khas lambang keluarga dalam ukuran besar (Daimon) di 8 tempat. Suo adalah sejenis Hitatare yang tidak menggunakan kain pelapis di dalam.

Penyederhaan pakaian kaum samurai terus berlanjut. Di zaman Edo, pakaian kaum samurai disederhanakan menjadi setelan yang sampai saat ini terkenal dengan sebutan Kamishimo(裃), yang terdiri dari baju atas yang disebut Kataginu (肩衣) dan celana Hakama.

Pakaian wanita pada zaman ini juga menjadi lebih sederhana. Rok bawah yang disebut Mo (裳) berubah menjadi celana Hakama, sebelum akhirnya menghilang sama sekali dan digantikan oleh kimono model terusan. Sewaktu memakai Kosode (pakaian dalam), kain yang disebut Koshimaki dan Yumaki digunakan sebagai kain penutup pinggang. Kosode yang lebih panjang dipakai untuk melapisi Kosode yang berfungsi sebagai pakaian dalam, dengan maksud agar Kosode yang dikenakan sebagai pakaian dalam terlihat dari luar.

Zaman Edo Periode Awal

Sebagai pakaian yang merupakan simbol budaya orang kota yang mengikuti tren, Kosode menjadi semakin populer di kalangan masyarakat.

Zaman Edo adalah zaman keemasan panggung-panggung sandiwara seperti Kabuki. Penemuan cara penggandaan lukisan berwarna-warni yang disebut Nishikie atau Ukiyoe mendorong semakin banyaknya orang yang bisa melihat gambar-gambar pemeran Kabuki dengan pakaian kimono yang gemerlap. Pakaian orang kota cenderung menjadi semakin mewah untuk meniru pakaian yang dikenakan pemain Kabuki.

Untuk mengatasi kecenderungan orang kota yang berpakaian semakin bagus dan menjauhi norma-norma Konfusianisme, pemerintah Bakufu secara bertahap memaksakan Kenyakurei, yakni norma kehidupan sederhana yang pantas. Pemaksaan ini gagal karena keinginan rakyat untuk berpakaian bagus tidak bisa dibendung. Tradisi upacara minum teh (Chanoyu) yang telah berurat berakar juga menjadi sebab kegagalan Kenyakurei. Upacara minum teh yang dihadiri dengan memakai kimono yang sedapat mungkin harus tampak sederhana ternyata sebetulnya berharga mahal.

Pada masa ini mulai dikenal tali pinggang yang disebut Kumihimo dan gaya mengikat Obi di punggung yang bertahan hingga zaman sekarang.

Zaman Edo Periode Lanjut

Politik isolasi (Sakoku) membuat terhentinya impor benang sutera. Industri benang sutera dalam negeri pun tumbuh pesat pada periode ini. Setelah berhasil mengendalikan produksi benang sutera, pemerintah Bakufu kembali berusaha kembali memaksakan cara berpakaian dan gaya potongan rambut yang sesuai dengan kelas-kelas di dalam masyarakat. Kali ini pemerintah Bakufu berhasil memaksakan keinginannya. Bahan pakaian orang kota tidak lagi dibuat dari kain sutera yang dikontrol oleh pemerintah, melainkan dari kain katun atau kain serat rami. Hal ini ternyata menumbuhkan kreativitas masyarakat agar kimono yang dibuat dari kain katun atau serat rami terlihat bagus dipakai.

Pakaian wanita yang disebut Tamoto (袂) menjadi populer di kalangan rakyat banyak. Tamoto merupakan bentuk awal dari kimono jenis Furisode yang dipakai sebagai baju pengantin wanita.

Zaman Meiji dan Zaman Taisho

Pada zaman Meiji, orang-orang dari golongan bangsawan istana berlomba mengganti kimono dengan pakaian ala Barat supaya tidak dianggap kuno. Walaupun demikian, orang-orang kota yang ingin melestarikan tradisi estetika keindahan secara turun temurun tidak menjadi terpengaruh. Orang-orang kota tetap berusaha mempertahankan kimono dan tradisi asli yang dipelihara sejak zaman Edo.

Setelah peraturan pemakaian benang sutera dinyatakan tidak berlaku lagi, kimono untuk wanita mulai dibuat dari berbagai macam jenis kain. Pada saat yang bersamaan, industri pemintalan benang sutera didirikan di banyak tempat di Jepang. Sesuai pesatnya perkembangan industri pemintalan, berkembang pula industri tekstil yang menggunakan benang sutera. Produk industri tekstil pada zaman ini adalah berjenis-jenis kain sutera seperti silk crepe, rinzu, omeshi, dan meisen.

Teknik pencelupan kain juga berkembang dengan cepat seiring dengan tersedianya berjenis-jenis kain yang dapat diproses. Pada zaman ini mulai dikenal teknik yang disebut Yuzen (友禅), yakni menggambar dengan kuas untuk menghasilkan motif (biasanya berbentuk bunga-bunga) di atas kain kimono.

Kain sutera dengan motif garis-garis dan susunan gambar yang sangat rumit dan halus yang sudah populer sejak zaman Edo ternyata masih populer di antara kalangan atas sebagai pakaian terbagus yang cuma dipakai pada kesempatan istimewa. Pada saat yang sama, kain sutera hasil tenunan benang berwarna-warni hasil pencelupan juga disukai banyak orang.

Tidak lama setelah pakaian impor dari Barat mulai mengalir ke Jepang, penjahit-penjahit lokal mulai bisa membuat pakaian ala Barat. Sejak saat itu, istilah Wafuku mulai dipakai untuk membedakan pakaian yang selama ini dipakai orang Jepang dengan pakaian dari Barat. Pada masa-masa awal orang Jepang mulai mengenakan pakaian ala Barat, orang-orang kalangan atas mengenakan pakaian ala Barat yang dipinjam dari toko-toko yang menyewakan pakaian ala Barat.

Di zaman Meiji, sebagian besar orang laki-laki masih memakai kimono untuk pakaian sehari-hari. Pakaian ala Barat berupa setelan jas menjadi populer sebagai pakaian formal pria untuk keluar rumah.

Seragam militer dikenakan oleh laki-laki yang mengikuti dinas militer, sedangkan model seragam sekolah anak laki-laki ditiru dari model seragam tentara angkatan darat. Seragam anak sekolah juga menggunakan model kerah berdiri yang mengelilingi leher dan tidak jatuh ke pundak (stand-up collar) persis model kerah seragam tentara.

Wanita Jepang pada zaman Meiji semuanya masih mengenakan kimono, kecuali wanita bangsawan dan guru wanita yang bertugas mengajar anak-anak perempuan.

Pada zaman Taisho periode lanjut, seiring dengan kebijakan pemerintah yang memiliterisasi seluruh negeri, seragam anak sekolah perempuan yang selama ini berupa Andon Hakama (kimono dengan celana Hakama) diganti dengan pakaian ala barat yang disebut Serafuku, yakni setelan rok dan baju blus yang mirip yang sering dipakai oleh pelaut.

Zaman Showa

Di zaman perang, pemerintah membagi-bagikan pakaian seragam untuk penduduk laki-laki. Pakaian seragam untuk laki-laki disebut Kokumin fuku, sedangkan pemerintah memaksa para wanita untuk memakai Monpei (celana panjang untuk kerja yang berkaret di bagian pergelangan kaki).

Wanita Jepang hampir tidak mempunyai kesempatan untuk memakai kimono sewaktu zaman perang. Walapun begitu, sebenarnya Monpei bisa dikatakan merupakan salah satu jenis dari Hakama, semacam celana yang dikenakan bersama kimono.

Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan Jepang. Wanita Jepang merasa lega karena perang sudah berakhir dan kembali terpikat pada keindahan kimono. Tapi zaman cepat berganti, kimono tidak mungkin menandingi kepopuleran pakaian ala Barat yang praktis untuk dipakai sehari-hari, sehingga jumlah orang Jepang yang memakai kimono menjadi berkurang sedikit demi sedikit.

Walaupun demikian, sampai sekitar tahun 1965 masih terlihat banyak sekali wanita Jepang yang memakai kimono sebagai pakaian sehari-hari. Pada saat itu kepopuleran kimono menjadi terangkat kembali dengan diperkenalkannya kimono indah berwarna-warni dari bahan wol. Kimono dari bahan wol disukai wanita Jepang zaman itu sebagai pakaian untuk kesempatan santai.

Pedagang kimono risau dengan kejatuhan popularitas kimono dari kain sutera yang dianggap tidak praktis untuk pakaian sehari-hari. Demi kelangsungan bisnis, pedagang kimono mencari berbagai macam cara untuk meningkatkan jumlah penjualan barang. Salah satu caranya adalah dengan memasyarakatkan "peraturan mengenakan kimono" yang disebut Yakusoku. Peraturan yang sengaja dibuat-buat untuk mendikte pembeli bahwa kimono jenis tertentu hanya cocok dengan aksesori tertentu ternyata tidak mengena di hati konsumen. Walaupun pedagang sudah melakukan promosi kimono secara besar-besaran, di dalam masyarakat Jepang telanjur terbentuk opini bahwa "memakai kimono itu ruwet." Orang Jepang pun semakin menjauh dari kimono. Akibatnya, industri tekstil yang menghasilkan bahan kain untuk kimono (Tanmono) satu per satu menjadi bangkrut.

Sekarang sudah tidak bisa ditemui lagi laki-laki yang memakai kimono sebagai pakaian sehari-hari di rumah, padahal sampai tahun 1960-an masih banyak terlihat pemandangan laki-laki berkimono di rumah (bahkan masih bisa dilihat pada gambar-gambar Manga terbitan tahun 1970-an).

Saat ini tidak begitu banyak lagi laki-laki Jepang yang memakai kimono, kecuali Samue (作務衣) yang dipakai sebagai baju kerja.

Kimono Wanita

Kimono untuk wanita terdiri dari berbagai jenis yang semuanya sarat dengan simbolisme dan isyarat-isyarat terselubung. Pilihan jenis kimono tertentu bisa menunjukkan umur si pemakai, status perkawinan (masih lajang atau sudah menikah), dan tingkat formalitas dari acara yang dihadiri.

Jenis-jenis kimono wanita disusun menurut tingkatan formalitas, mulai dari kimono yang paling formal hingga kimono santai:

• Tomesode

Tomesode adalah jenis kimono yang paling formal, umumnya berwarna hitam dan hanya dikenakan oleh wanita yang sudah menikah. Tomesode yang berwarna hitam disebut Kurotomesode. Pada kimono jenis Tomesode terdapat lambang keluarga (kamon) si pemakai. Lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada) seusai dengan tingkat formalitas kimono. Ciri khas Tomesode adalah motif yang indah pada suso (bagian bawah sekitar kaki). Tomesode dikenakan untuk menghadiri resepsi pernikahan, pesta atau acara-acara yang sangat resmi.

Furisode

Furisode adalah kimono formal untuk wanita muda yang belum menikah. Ciri khas Furisode pada bagian lengan yang sangat lebar dan menjuntai ke bawah. Bahan berwarna-warni cerah dengan motif mencolok di seluruh bagian. Furisode dikenakan pada waktu menghadiri upacara "Seijin Shiki" (hari menjadi dewasa), menghadiri resepsi pernikahan teman, upacara wisuda atau kunjungan ke kuil Shinto di hari-hari awal Tahun Baru (Hatsumode).



• Homongi

Homongi (bahasa Jepang: 訪問着, secara harafiah: baju untuk berkunjung) adalah kimono formal untuk wanita yang sudah menikah atau wanita dewasa yang belum menikah. Homongi dikenakan wanita yang sudah menikah untuk menghadiri resepsi pernikahan, pesta-pesta resmi, Tahun Baru, atau upacara minum teh.

• Iromuji

Iromuji kimono semiformal yang bisa dijadikan kimono formal jika mempunyai lambang keluarga (kamon). Lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada) seusai dengan tingkat formalitas kimono. Bahan umumnya tidak bermotif dan berwarna merah jambu, biru muda, kuning muda atau warna-warna lembut lainnya. Iromuji dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan atau upacara minum teh.

• Tsukesage

Tsukesage adalah kimono semi formal untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Menurut tingkatan formalitasnya, Tsukesage hanya setingkat dibawah Homongi. Tsukesage biasa dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan, pesta resmi, Tahun Baru, atau upacara minum teh yang sifatnya tidak begitu resmi.

• Komon

Komon adalah kimono santai untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Ciri khas pada motif sederhana yang kecil-kecil yang berulang. Komon bisa dikenakan untuk menghadiri pesta alumni, makan malam, bertemu dengan teman-teman, atau menonton pertunjukan di gedung.

• Tsumugi

Tsumugi adalah kimono santai untuk dikenakan sehari-hari di rumah oleh wanita yang sudah atau belum menikah, walaupun boleh juga dikenakan untuk keluar rumah seperti berbelanja dan jalan-jalan. Ciri khas Tsumugi pada bahan yang merupakan bahan tenunan sederhana dari katun atau benang sutera kelas rendah yang tebal dan kasar sehingga kimono jenis ini tahan lama. Pada zaman dulu, Tsumugi digunakan untuk bekerja di ladang.

• Yukata

Yukata adalah jenis kimono santai yang dibuat dari bahan kain katun tipis tanpa pelapis yang dipakai untuk kesempatan santai di musim panas.

Pakaian Pengantin Wanita

Pakaian pengantin wanita tradisional Jepang (Hanayome Isho) terdiri dari Furisode dan Uchikake (sejenis mantel yang dikenakan di atas Furisode). Hanayome Isho dikenakan pengantin wanita pada saat upacara dan resepsi pernikahan.

Furisode khusus pengantin yang merupakan bagian dari Hanayome Isho berbeda dengan Furisode yang dikenakan wanita muda yang belum menikah. Furisode khusus pengantin mempunyai motif-motif yang dianggap dapat mengundang keberuntungan seperti burung Jenjang (burung Tsuru), dan berwarna lebih cerah dibandingkan dengan Furisode biasa.
Shiromuku adalah pakaian pengantin wanita tradisional Jepang yang berupa Furisode yang berwarna putih bersih dan tidak bermotif.

Kimono Pria

Kimono pria jauh lebih sederhana dibandingkan dengan kimono wanita. Kimono pria didominasi warna-warna gelap seperti hijau tua, coklat tua, biru tua, dan hitam.

• Setelan Montsuki dengan Hakama dan Haori

Kimono pria yang paling formal disebut Montsuki yang di bagian punggungnya terdapat lambang keluarga (Kamon) si pemakai. Bawahan yang digunakan untuk Montsuki adalah celana panjang Hakama, sedangkan mantelnya disebut Haori.

Montsuki yang dipakai lengkap dengan Hakama dan Haori juga berfungsi sebagai pakaian pengantin pria. Selain sebagai pakaian pengantin pria, Montsuki lengkap dengan Hakama dan Haori hanya dikenakan pada waktu menghadiri upacara yang sangat resmi, seperti resepsi pemberian penghargaan dari Kaisar/pemerintah.

• Ki Nagashi

Ki Nagashi adalah kimono santai untuk dipakai sehari-hari yang dikenakan pria untuk keluar rumah pada kesempatan tidak resmi. Bahannya bisa terbuat dari katun atau bahan campuran. Ki Nagashi banyak dikenakan pemeran Kabuki pada saat latihan atau guru tari tradisional Jepang pada saat mengajar.
Aksesori dan Pakaian Pelengkap untuk Kimono

• Hakama

Hakama adalah semacam celana panjang yang dikenakan pria yang juga terbuat dari bahan berwarna gelap. Hakama berasal dari daratan Tiongkok dan mulai dikenal sejak zaman Asuka. Hakama umumnya dikenakan pendeta kuil Shinto . Di kalangan olah raga tradisional Jepang seperti Kendo dan Kyudo, Hakama dikenakan baik oleh laki-laki maupun perempuan.

• Geta

Geta adalah sandal dari kayu yang dilengkapi dengan hak. Geta berhak tinggi dan tebal yang dipakai oleh Maiko disebut Pokkuri

• Junihitoe

Junihitoe adalah kimono 12 lapis yang dipakai oleh wanita Jepang zaman dulu di istana kaisar.

• Kanzashi

Kanzashi adalah hiasan rambut seperti tusuk konde yang disisipkan ke rambut sewaktu memakai kimono.

• Obi

Obi adalah sabuk dari kain yang seperti stagen yang dililitkan ke badan pemakai untuk mengencangkan kimono.

• Tabi

Tabi adalah kaus kaki sepanjang betis yang dibelah dua pada bagian jari kaki untuk memisahkan jempol kaki dengan jari-jari kaki yang lain. Tabi dipakai sewaktu memakai sandal, walaupun ada Tabi dari kain keras yang dapat dipakai begitu saja seperti sepatu bot.

• Waraji

Waraji adalah sandal dari anyaman tali jerami.

• Zori

Zori adalah sandal tradisional Jepang yang bisa terbuat dari kain atau anyaman sejenis rumput (Igusa).